Jumat, 08 Juli 2011

PENERAPAN HADITS AHKAM DEWAN HISBAH PERSIS


GARIS SEJARAH DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM (PERSIS)
DAN PENERAPAN HADITS AHKAM

Drs. Encang Saefuddin

Dosen Fakultas  Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Ketua MUI Andir Baleendah
Anggota Dewan Pertimbangan Pusat Zakat Umat (PZU) LAZ PP. Persatuan Islam (Persis).

A.    PENDAHULUAN
a.    Garis Sejarah Dewan Hisbah
Menurut tafsir Qanun asasi (1967: 7) bahwa sesungguhnya jauh sebelum tanggal 12 September 1923 (berdirinya PERSIS) telah ada suatu kelompok kajian ajaran Islam dan ajaran yang berlaku secara faktual. Mereka menamakan kelompok penelaahnya itu dengan nama Persatuan Islam, ada juga yang memberi nama Permufakatan Islam. Jadi sebelum Tahun 1923 nama Persatuan Islam itu bukan nama sebuah organisasi melainkan nama kelompok penelaah (study club) dan inilah sebagai cikal bakal atau embrio Lembaga Dewan Hisbah.
Tokoh-tokoh utama study club tersebut adalah KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus, mereka mengadakan kenduri secara rutin bergiliran secara rutin di rumah-rumah anggota jamaahnya, setelah mereka makan, kemudian sebagaimana biasa diadakan pembahasan berbagai masalah agama, sampai kepada masalah aktual persoalan umat Islam pada waktu itu, seperti polemik antara al-irsyad dengan jamiat khair dan perpecahan Syarikat Islam (SI) antara mereka yang mendukung Komunisme dengan yang tetap konsisten dengan keislamannya.
Majalah terkenal yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridlo yakni Al-Manar di Mesir dan Al-Munir dari Padang senantiasa mendapat tempat dalam pengajian KH. Zamzam dan KH. M. Junus. Muhammad Abduh menulis dalam majalahnya tentang al-islamu mahjuubun bil muslimin, Islam ditutup oleh orang Islam itu sendiri. Tulisan tersebut menyentuh dan mewarnai cara berfikir dan cara hidup mereka, mereka sadar bahwa pada waktu itu kaum muslimin banyak melakukan praktek-praktek penyimpangan baik aqidah, Ibadah, maupun muamalah, perpecahan umat Islam dan kecenderungan Belanda melarang serta membatasi pendidikan, dakwah dan penerbitan buku yang akhirnya pemurtadan.
Persatuan Islam terbentuk dengan dimulai oleh suatu kelompok penelaah (study club) di Bandung yang anggota-anggotanya dengan kecintaan menelaah, mengaji serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya, sedangkan pada saat itu keberadaan kaum muslimin di Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, bid’ah, dan syirik, sebagaimana terdapat dalam dunia Islam lainnya yang diperkuat oleh cengkraman kuku penjajahan kaum Nashrani Belanda melalui penasehatnya, orientalis yang ulung dalam menggariskan politik keagamaan di tanah air.
Para anggota kelompok itu semakin lama mengaji dan menguji ajaran agamanya, semakin tahu hakikat Islam yang sesungguhnya, dan merekapun menjadi sadar akan keterbelakangan, kejumudan, pintu ijtihad tertutup bagi umat Islam, merasa cukup dengan taqlid buta. Akhinya makin sadar pula akan kewajiban untuk mengadakan tajdid dan pemurnian agama Islam yang dilaksanakan dalam masyarakat, kemudian mereka masing-masing mengajarkan apa yang telah diketahuinya di kampung halamannya, sehingga dengan demikian secara tidak resmi maupun secara resmi, maka telah berdiri dan terbentuk pula kelompok-kelompok penelaah, bukan hanya yang ada di Bandung, juga di berbagai tempat di Indonesia.
Dalam keadaan demikian Persatuan Islam telah terbentuk dengan hubungan horizontal (mendatar) tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau suatu nidzam jami’yyah yang pasti, oleh karena itu, agar perjuangan serta jihad yang telah dilakukan oleh tiap-tiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka didirikanlah dengan resmi sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal (atas bawah) dengan suatu nizham yang pasti dan disusun bersama-sama sebagai pengambil inisiatip berdirinya jamiyah Persatuan Islam tercatat tokoh yang bernama KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus (tafsir Qanun Asasi 1968: 8, 1983: 6). Mereka menamakan Persatuan Islam itu adalah supaya umat Islam bersatu memegang Quran dan Sunah, bersatu seragam mulai dari aqidah, ibadah sampai dengan muamalah berpegang pada tali Allah yakni Al-Quran dan al-Hadits. Dan bukan jamaah yang mencampur adukan Sunnah dan Bid’ah, hak dan bathil (Eman Sar’an, 1964: 9). Dengan demikian Study Club itu melahirkan jam’iyyah Persatuan Islam dan kemudian  jam’iyyah membentuk Majelis Fatwa.
Dewan Hisbah, Majelis Ulama Persatuan Islam, Majelis Fatwa atau Majelis Goeroe Agama menurut Qanun Asasi atau Anggaran Dasar Persatuan Islam sejak berdirinya tahun 1923 sampai dengan tahun 2000 sebagai berikut:
Menurut anggaran dasar Persatuan Islam tahun 1923, cetakan kedua tanggal 28 Agustus 1934, halaman 8 Pasal 9 dengan bahasa dan ejaan lama menyebutkan sebagai berikut: Madjelis Fatwa dan Pekerdjaannja. Dalam perserikatan ini diadakan satoe badan madjelis goeroe agama terdiri dari sedikitnja dari tiga anggota yang memberi fatwa dalam segala oeroesan-oeroesan yang berhoeboengan dengan agama yang soedah ada atau beloem dipoetoeskan oleh pengoeroes besar atau Moektamar.
Menurut Anggaran Dasar Persatuan Islam tahun 1953 pasal VII menjelaskan: Persatuan Islam mempunyai Majelis Ulama yang bertugas menyelidik dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Quran dan Sunnah dan pusat pimpinan menyiarkannya.
Menurut Qanun Asasi Persis tahun 1957 Bab V pasal 1 tentang fungsi dan kedudukan Majelis Ulama Persis adalah sebagai berikut:
a.       Persatuan Islam mempunyai Majelis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah, dan Pimpinan Pusat menyiarkannya.
b.      Majelis Ulama diangkat oleh Pemimpin Pusat buat selama-lamanya.
c.       Sesuai dengan kedudukannya sebagai waratsatul anbiya, Majelis Ulama mempunyai hak veto (menolak dan membatalkan). Segala keputusan dan langkah yag diambil dalam segala instansi oragannisasi Persatuan Islam.
d.      Qaidah Majelis Ulama pasal 2 mengatur cara bekerja Majelis Ulama :
a)      Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majelis Ulama dalam lapangan hukum agama wajib dipatuhi oleh pusat pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.
b)      Instansi Majelis Ulama hanya diadakan oleh Pimpinan Pusat.
c)      Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada pusat pimpinan untuk menjadi anggota Majelis Ulama disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d)     Pusat Pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu.
Menurut Qanun Asasi 12 September 1957 yang disempurnakan pada tanggal 12 Oktober 1963 Pasal 4 (B) menerangkan sebagai berikut:
  1. Bagian hukum yang bernama Majelis Ulama yang anggota-anggotanya diangkat oleh Pusat Pimpinan Persatuan Islam, dipilih dari mereka yang aktif dan mendapat kepercayaan di dalam daerahnya.  
  2. Majelis Ulama berkewajiban menyelidiki dan meneliti hukum-hukum syara’ serta menetapkannya dengan berdasarkan Quran dan Sunah Nabi.
  3. Cara bekerja Majelis Ulama diatur dalam Qaidah Majelis Ulama yang tidak bertentangan isinya dengan Qanun Asasi ini dan disahkan oleh Pusat Pimpinan Persatuan Islam.
  4. Majelis Ulama Persatuan Islam di bidang hukum adalah pembantu Pusat Pimpinan Persatuan Islam di bidang hukum syara’ yang menajadi dasar organisasi ini.
Menurut Qanun Asasi 19 Februari 1968 dengan panitia perubahannya ; Ketua Muhammad Rusyad Nurdin dan Sekretarisnya Junus Anis, pada halaman 10 Pasal 8 menyebutkan sebagai berikut :
1)      Pusat pempinan Persatuan Islam membentuk Dewan Hisbah.
2)      Dewan Hisbah berkewajiban membantu Pusat Pimpinan Persatuan Islam dalam meneliti hukum-hukum Islam dan mengatasi pelaksanaannya serta memberikan teguran atas pelanggaran-pelanggaran hukum Islam yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggota jamiyah dengan cara khusus.
Menurut Qanun Asasi tahun 1991 Bab II Pasal 12 Menyebutkan : Bahwa Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh Pusat Pimpinan dan merupakan Dewan Pertimbangan serta Pengkajian syara’ dalam jam’iyah.
Menurut Qanun Asasi tahun 1996 Bab II Pasal 13 Menyebutkan sebagai berikut:
1)      Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh pimpinan Pusat.
2)      Dewan Hisbah merupakan Dewan Pertimbangan dan pengkajian syara’ dalam jami’yah.
Pada pasal ini tidak ada perubahan kecuali pasal 12 menjadi 13 yakni Pusat Pimpinan dirubah menjadi Pimpinan Pusat.
Menurut Qanun Asasi tahun 2000 Bab II Pasal 13 Menyebutkan mengenai fungsi dan kedudukan dewan hisbah adalah sebagai berikut:
1)      Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh Dewan Hisbah.
2)      Dewan Hisbah merupakan Dewan Pertimbangan dan pengawasan bagi jami’yah.
Dengan uraian tersebut diatas dapat dikatakan, bahwa jauh sebelum tahun 1923 telah ada kelompok penelaah (study club) terhadp ajaran Islam, mereka menamakan kelompok itu dengan nama Persatuan Islam dan ada juga yang memberi nama Permufakatan Islam. Setiap kelompok tidak lupa kepada kelompok pertama yang ada di Bandung sehingga mereka senantiasa mengadakan hubungan satu sama lainnya, maka oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa Persis itu adalah kelompok penelaah (study club) sebelum menjadi Jamiyah dan inilah sebagai cikal bakal atau embrio dewan Hisbah.
Setelah berdiri jamiyah Persatuan Islam, kelompok penelaah tersebut terus berlangsung dan oleh jamiyah diberi nama majelis fatwa atau majelis Guru agama, nama Majelis guru Agama ini sampai dengan tahun 1953, dan dari tahun 1953 sampai dengan tahun 1962 namanya berubah menjadi Majelis Ulama, pada masa kepemimpinan KH.E. Abdurrahman (1962-1983) Majelis Ulama itu diganti dengan nama Dewan Hisbah sampai sekarang. Kemudian nama Majelis Ulama itu dipakai oleh lembaga Negara yaitu Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
Muktamar Persatuan Islam tahun 1953 di Bandung antara lain memutuskan, Ketua Umum KH.M. Isa Anshari, Sekretaris Jendral E. Bachrum dan Para Penasehatnya (1) A. Hassan (2) M. Natsir (3) Fachruddin Al-Kahiri. Tasykil Majelis Ulama Persatuan Islam adalah: Ketua KH. Munawar Chalil (Semarang), Sekretaris A. Kadir Hasan (Bangil), Anggota-anggotanya adalah: (1) KH. M. Tamim (Bogor), (2) A. Hassan (Bangil), (3) E. Abdurrahman (Bandung), (4) I. Sudibdja (Bandung), (5) E. Abdullah (Bandung), (6) Abdullah Ahmad (Bandung), (7) H. Junus Khadiri (Jakarta), (8) KH. Maksum (Djogjakarta), (9) H. Abdur Rafieq/ Mama Ropek (Mangahang Bandung), (10) Teuku Muhammad Hasby Asshidiqi (Djogjakarta).
Fatwa-fatwa Majelis Ulama Persatuan Islam tahun 1953 yang ditanda tangani oleh ketuanya KH. Munawar Chalil dan penulisnya A. Kadir Hassan adalah sebagai berikut:
1.      Definisi Agama
Berhubung di waktu akhir-akhir ini banyak timbul agama baru, menuntut kepada pemerintah supaya membuat definisi agama, fatwa Majelis Ulama Persis tentang Agama (dien) adalah Wahyun illahiyyun munazzahm min indillahi liyuballighun naasa, Wahyu Ilahi yang diturunkan dari Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Maka oleh karena itu, segala tuntunan yang datang tidak sari Syar’i adalah agama palsu dan setelah wafat Nabi Muhammad Saw. tidak ada sebarang Nabi dan tidak ada lagi agama, segala macam yang orang namakan agama adalah agama palsu.
2.      Harta Warisan
Bahwa harta warisan yang tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, haram (tidak sah) Majelis Ulama Persis minta kepada Muktamar Persis supaya Muktamar mendesak pemerintah agar mengatur harta warisan umat Islam berdasarkan Quran dan Sunah.
3.      Anggauta Party-Party atau Organisasi.
Majelis Ulama Persis memfatwakan: Haram umat Islam memasuki/ menjadi angauta Pary-party atau organisasi:
a.       Berpendirian menentang Islam
b.      Bersifat menentang Islam seperti PKI dan yang seumpama dengannya.
­Anggota Majelis Ulama Persatuan Islam tahun 1956-1960 tasykilnya adalah sebagai berikut:
1.      A. Hassan (Bangil)
2.      KH. Ahmad Mansyur (Bandung)
3.      KH. Imam Ghazali (Jakarta)
4.      KH. Munawar Khalil (Yogyakarta)
5.      KH. Ma’sum (Yogyakarta)
6.      KH. Said B. Thalib (Pekalongan)
7.      TM. Hasby Ash-Shiddiqy (Yogyakarta)
8.      KH. Junus Khadiri (Jakarta)
9.      KH. E. Abdurrahman (Bandung)
10.  KH.O. Qomarudin Saleh (Bandung)
11.  KH.M. Ali Al-Hamidi (Jakarta)
12.  KH. Abdullah Ahmad (Jakarta)
13.  KH. Abdul Qadir Hassan (Bangil)
14.  KH. E. Abdullah (Bandung)
15.  KH. I. Sudibja (Bandung)

Anggota Majelis Ulama Persis, seperti A.Hassan dan T.M. Hasby Hasby asshidiqi, KH. Munawar Chalil, E. Abdurrahman mereka lebih terkenal sebagai ulama yang mumpuni dan sebagai penulis buku yang paling produktif di masanya. Soal-Jawab A. Hassan mengalami belasan kali cetak, demikian pula karya-karya Prof. Dr. TM. Hasbi Asshidiqi seperti Ulumul Quran dan Ulumul Hadits mengalami beberapa kali cetakan dan dijadikan sebagai buku wajib di berbagai perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta. KH. Munawar Chalil menulis buku Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad saw. dan buku Empat serangkai Imam Madzhab, juga KH.E. Abdurrahman menerbitkan majalah Risalah, yang sekarang menjadi buku-bukunya.
Menurut penelitian Howard M. Fedespiel dari Cornel University, New York ia mencatat bahwa Ahmad Hassan, Haji Munawar Chalil, dan Haji Mahmoed Aziz terkenal karena fatwa-fatwanya tentang berbagai macam prilaku umat Islam, dan T.M. Hasbi asshidiqi menjadi sangat terkenal karena fatwanya yang menyatakan, bahwa transfusi darah diperbolehkan oleh hukum Islam.
Pada masa kepemimpinan KH.E. Abdurrahman (1968-1983) Majelis Ulama itu diganti dengan nama Dewan Hisbah, tetapi fungsinya masih lemah dan tidak tampak kepermukaan, faktor utama yang menyebabkan lemahnya fungsi Dewan Hisab tersebut, karena disamping ia sebagai pemimpin Persantren, juga sebagai ulama yang mumpuni serta kharismanya yang besar, beliau merupakan pemimpin organisasi dan pemimpin agama yang ideal.
Pada masa kepemimpinan Persis dibawah KH.A.Latief Muchtar, MA (1983-1997) Dewan Hisbah difungsikan kembali dan tasykilnya dibagi menjadi tiga priode (lihat Panduan Hidup berjamaah, Shiddiq Amien: 158).
Periode pertama masa jihad 1983-1990 adalah sebagai berukut:
Ketua                          : KHE. Abdurrahman (Bandung)
Wakil Ketua                : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Sekertaris                    : KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
Wakil Sekertaris I       : KHO. Syamsuddin (Bandung)
Wakil Sekertaris II      : KHI. Shodikin (Bandung)
Para Anggota              :
1.      KH. Ajengan Hassan (Purwakarta)
2.      KH. Akhyar Syuhada (Cianjur)
3.      KH. Ali Ghazali (Cianjur)
4.      KH. Ismail Fikri (Jakarta)
5.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
6.      KH. Aceng Zakaria (Garut)
7.      KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
8.      Ustadz Suraedi (Tasikmalaya)
Periode kedua masa jihad 1990-1995 dengan tasykil sebagai berikut:
Ketua                          : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Wakil Ketua                : KH. Achyar Syuhada (Cianjur)
Sekertaris                    : KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
Para Anggota              :
1.      KH. Ajengan Hassan (Purwakarta)
2.      KHO. Syamsuddin (Padalarang)
3.      KHA. Latief Muchtar, MA (Bandung)
4.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
5.      KHA. Ghazali (Cianjur)
6.      KH. Drs. Nasihin bin Sayuti (Purwakarta)
7.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
8.      KH. Shodikin (Bandung)
9.      KH. Muh. Romli (Bandung)
10.  KH. Aceng Zakaria (Garut)
11.  KH. Ismail Fikri (Jakarta)
12.  KH. Drs. M. Nurdin, SH (Jakarta)
13.  KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
14.  KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
15.  KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Sapeken)
16.  KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
17.  KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
Periode ketiga masa jihad 1995-2000 tasykilnya adalah:
Ketua                          : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Wakil Ketua                : KHA. Syuhada (Cianjur)
Sekertaris                    : KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
Para Anggota              :
1.      KHO. Syamsuddin (Bandung)
2.      KHA. Latief Muchtar, MA (Bandung)
3.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
4.      KHA. Ghazali (Cianjur)
5.      KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
6.      KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
7.      KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
8.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
9.      KH. Shodikin (Bandung)
10.  KH. Drs. M. Nurdin, SH (Jakarta)
11.  KH. Muh. Romli (Bandung)
12.  KH. Drs. Ahmad Mubin (Jakarta)
13.  KH. Aceng Zakaria (Garut)
14.  KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Sapeken)
15.  KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
16.  KH. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil)
17.  KH. Mochtar Soemawikarta (Sukabumi)
18.  KH. Dr. M. Abdurrahman, MA (Bandung)
Pada tanggal 12 Oktober 1997, ketua Umum PP. Persis yang juga anggota Dewan Hisbah KHA. Latief Muchtar, MA wafat. Pada periode ini juga Dewan Hisbah kehilangan putra-putra terbaiknya, yaitu Allah yarham, KHO. Syamsuddin, KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy, KH. Mochtar Somawikarta, KH. Drs. Nasihin bin Sayuti, KH. Drs. M. Nurdin, SH dan KH. Ajengan Hasan.
Melalui musyawarah khusus PP.Persatuan Islam yang melibatkan seluruh Pimpinan Pusat, Para Ketua Umum otonom (Persistri, Pemuda dan Pemudi) seluruh anggota dewan Hisbah, dan para ketua PW Persis, 25 oktober 1997 di Ciganitri Bandung, secara aklamasi menunjukan KH. Drs. Siddiq Amien sebagai Ketua Umum Pengganti sampai Muktamar ke 12. pada Mukhtamar ke 12 tanggal 9,10 dan 11 September 2000 di Jakarta, Ustadz shiddiq Amien terpilih kembali sebagai ketua umum untuk masa jihad 2000-2005. pada periode ini tasykil Dewan Hisbah ditetapkan sebagai berikut :
Ketua                          : KHA. Syuhada (Cianjur)
Wakil Ketua                : KH. Usman Sholehuddin (Bandung)
Sekertaris                    : KH. Dr. M. Abdurrahman, MA
Wakil Sekertaris          : KH. Wawan Shafawan
Para Anggota              :
1.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
2.      KHA. Ghazali (Cianjur)
3.      KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
4.      KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
5.      KH. Shodikin (Bandung)
6.      KH. Drs. Shiddiq Amien (Tasikmalaya)
7.      KH. Muh. Romli (Bandung)
8.      KH. Aceng Zakaria (Garut)
9.      KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
10.  KH. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil)
11.  KH. Drs. Ahmad Mubin (Jakarta)
12.  KH. Entang Muchtar, ZA (Garut)
13.  KH. Taufiq Rahman, S.Ag (Jakarta)
14.  KH. Drs. Uus Muhammad Ruhiyat (Bandung)
15.  KH. M. Rahmat Najieb, S.Pd. (Bandung)
Pada periode ini pun Dewan Hisbah kembali kehilangan putra terbaiknya dengan wafatnya KH. Eman Sar’an, KHA. Ma’sum Nawawi, KH. Ali Ghazali dan KH. Ghazi Abdul Kadir.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jelas sekali bahwa tidak ada seorang pun dari anggota Persatuan Islam Istri (Persistri) yang menjadi anggota Dewan Hisbah, namun demikian tidak ada satu pasal pun Qanun Asasi, Qanun Dakhili dan aturan lain yang melarang Persistri menjadi anggota dewan Hisbah, bahkan Allah yarham KHA. Latief Muchtar, MA. Menjelaskan, bahwa Dewan Hisbah tidak mengharamkan anggotanya dari Persistri, tapi saat ini belum ada yang layak dari Persistri untuk menjadi anggota Dewan Hisbah.
Mengenai kedudukan, hak dan fungsi Dewan Hisbah diatur dalam Qanun Asasi pasal 13 dan Qanun Dakhili Bab VI pasal 34-38. Hasil Mukhtamar ke 12. dewan Hisbah dalam SK Nomor: 003/I.1.2-C.1/A.1/1994 yang ditandatangani oleh KHE. Sar’an sebagai ketua dan KH. Siddiq Amien sebagai sekertarisnya, menetapkan komisi-komisi dalam Dewan Hisbah yang terdiri dari: Komisi Ibadah Mahdlah, Komisi Mu’amalah dan Komisi Aliran Sesat, tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya (Shiddiq Amien, 2005 : 162). Adapun tugas dan tasykil komisi-komisi itu adalah sebagai berikut:
  1. Komisi Ibadah Mahdhah
  1. Menyusun konsep petunjuk pelaksanaan ibadah praktis untuk pegangan anggota dan calon anggota.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi.
  3. Mempresentasikan hasil siding komisi dalam sidang lengkap
Adapun tasykil komisi ibadah mahdhah adalah sebagai berikut :
  1. KH. Usman Shalehuddin, Ketua
  2. KHM. Abdurrahman Ks, Sekertaris
  3. KHO. Syamsuddin, Anggota
  4. KH. Ajeng Hassan, Anggota
  5. KH. Moh. Romli, Anggota
  6. KH. Ad-Dailami Abu Hurairah, Anggota

  1. Komisi Muamalah
Tugas komisi muamalah adalah sebagai berikut:
  1. Mengadakan pembahasan masalah-masalah kemasyarakatan (muamalah) yang muncul di masyarakat baik atas hasil pemantauan atau atas dasar masukan dari komisi lain atau dari luar.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
  3. Mempresentasikan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
Adapun tasykil komisi mu’amalah adalah sebagai berikut:
  1. KH. Ma’sum Nawawi, Ketua
  2. KH. Drs. Moh. Syarif Sukandi, Sekertaris
  3. KH. Abdul Qodir Shodiq, Anggota
  4. KH. Ali Ghazali, Anggota
  5. KH. Drs. M.Nurdin, SH, Anggota
  6. KH. Drs. Ahmad Mubin, Anggota

  1. Komisi Aliran Sesat
Tugas Komisi Aliran sesat adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan penelitian dan pembahasan mengenai aliran-aliran yang muncul di masyarakat.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
  3. Mempresentasikan hasil sidang komisi dalam sidang lengkap
Adapun tasykil komisi aliran sesat adalah sebagai berikut:
  1. KHA. Latief Muchtar, MA, Ketua
  2. KHI. Shodiqin, Sekertaris
  3. KH. Ghozi Abdul Qodir, Anggota
  4. KH. Nasihin bin Ahmad, Anggota
  5. KH. Aceng Zakaria, Anggota
Sidang komisi ibadah mahdhah, komisi muamalah dan komisi aliran sesat dipimpin oleh ketua komisi masing-masing dan dibantu oleh salah seorang anggota komisi.
Pada tanggal 8 Juni 1996 komisi-komisi tersebut diatas direstrukturisasi dengan tasykil sebagai berikut :
  1. Komisi Ibadah Mahdhah
1.      KHO. Syamsuddin, Ketua
2.      KH. Aceng Zakaria, Sekertaris
3.      KH. Abdul Qodir Shodiq, Anggota
4.      KH. Usman Shalehudin, Anggota
5.      KH. M. Abdurrahman Ks, Anggota
  1. Komisi Muamalah
1.      KHI. Shodiqin, Ketua
2.      KH. Moh. Romli, Sekertaris
3.      KH. Ma’sum Nawawi, Anggota
4.      KH. Ghozi Abdul Qodir, Anggota
5.      KH. Dailamy Abu Hurairah, Anggota
6.      KH. Drs. Ahmad Mubin, Anggota
  1. Komisi Aliran Sesat
1.      KH. Abdul Latief Muchtar, MA, Ketua
2.      KHM. Abdurrahman, MA, Sekertaris
3.      KH. Moh. Syarif Sukandi, Anggota
4.      KH. Mochtar Somawikarta, Anggota
Pada masa kepemimpinan KHE. Aburrahman (1962-1983) Ketua Dewan Hisbah al-Ustadz KH. Abdul Qadir Hassan, tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan sebelum tahun 1983 tidak diketemukan dokumentasinya (siddiq Amien, 2005: 157, 162). Namun walau pun demikian, baik KH.Abdurrahman maupun KH. Abdul Qadir Hassan mereka menulis tentang yang berkaitan dengan metode istinbath al-ahkam. KHE. Abdurrahman menulis buku Merenahkeun Hukum dina Agama, perbandingan Madzhab-madzhab dan ilmu Riwayat. KH. Abdul Qadir Hassan menulis buku Musthalah hadits, Ushul Fiqih dan pada tahun 1968 ia menulis Metode istinbath al-ahkam yang di istilahkan sebagai tamhied untuk melengkapi berbagai masalah yang termaktub di dalam kitab soal-jawab.
KHE. Abdurrahman menjelaskan tentang Dewan Hisbah (lihat Abdurrahaman. t.th : 12) sebagai berikut: Allah Swt. telah mensyari’atkan hukum dan undang-undang yang menetapkan batas agama yang tidak boleh dilangggar, dirubah atau ditambah, hanya cara dan taktiknya dipasrahkan kepada umat Islam, umat Islam boleh menukar atau merubah cara tersebut sesuai dengan keadaan dan zaman.
Umat Islam wajib menjauhi segala larangan Allah Swt. dan wajib melaksanakan segala perintahnya. Umat Islam dalam menjalankan syari’at Islam ditarik oleh iman dan didorong oleh kekuasaan siasat kenegaraannya serta diawasi oleh masyarakatnya. Tidak sedikit orang yang sangat mengerti madlaratnya minuman keras, tetapi karena imannya tidak mengharamkannya, maka penyaksian kemadlaratan miras tersebut tidak kuasa untuk menekan nafsunya. Tetapi bagi umat Islam yang beriman walaupun ia belum menyaksikan kemadlaratannya tentu ia akan kuat untuk menekan kehendaknya. Jadi terang sekali bagi umat Islam, bahwa kekuatan Islam itu melebihi kekuatan ilmu pengetahuan. Akan tetapi lantaran godaan setan khannas. Penunggu pelawan yang selalu mengintai kelemahan menanti zwake moment sering orang yang sudah beriman itu khianat terhadap imannya, melanggar kepercayaannya, maka oleh karena itu perlu ada dorongan keimanan tersebut dari pihak yang berkuasa yaitu pemerintah. Rasulullah Saw. bersabda: Innalaha laayazau bisulthani maa laayaza’u bil qurani. Sesungguhnya Allah melindungi umat-Nya dengan pemerintahan (shulthan) apa-apa yang tidak dapat diperlindungi oleh Quran. Hadits ini menegaskan bahwa kesempurnaan berlakunya syari’at Allah itu selain Al-Quran yang telah diimankan itu juga perlu kepada shulthan (siasat) yang menjamin keselamatan umat.
مَنْ رَاَى مِنْكُـمْ مُنْكَـرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَـلْبِهِ وَذَالِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ (رواه مسلم I: 69) 
Barangsiapa diantara kamu melihat amal yang munkar atau kejahatan hendaklah ia mengubah dengan tangannya,kalau ia tidak mampu maka hendaklah ia memperlihatkan ia tidak setuju (penyesalan) dengan hatinya dan hal itu adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim I: 69).
Perintah ini bagi semua umat Islam, tapi kalau diperhatikan hadits tersebut nyata sekali bahwa ia mempunyai kekuasaan untuk merubah kemunkaran dengan jalan kekuatan itu adalah pemerintah. Dan banyak pula perintah-perintah wajib yang harus diselenggarakan dengan sempurna yang berhajat kepada iman yang teguh dan pimpinan siasat yang sehat, maka oleh karena itu dalam Negara-negara Islam dalam Tarikh diterangkan bahwa sebagian besar tentang undang-undang diserahkan kepada suatu dewan yang bernama Dewan Hisbah supaya segala yang berkaitan dengan rech normen dapat disempurnakan oleh dewan tersebut.
Dewan Hisbah itu adalah yang bekerja mengawasi jalannya berbagai aturan supaya jangan terjadi pelanggaran dan pemalsuan bukan hanya mencari yang sudah melanggar, tapi berusaha dengan bermacam-macam cara supaya jangan ada kejadian yang mengecewakan yang bersifat mubasyirin wa mundzirin. Umat Islam di Indonesia yang sudah bangun dan membangunkan negaranya, bukan mesti mengadakan dewan yang persis yang ada dalam tarikh tersebut, sebab soal ini adalah soal duniawi, orang Islam bisa merubah nama serta caranya hanya ruhnya mesti tetap dan oleh karena itu bertambah tenang bagi umat Islam bahwa agama itu telah sempurna untuk mengurus alam dan serba diatur oleh rabbul ‘alamin.
b.      Beberapa keputusan Penerapan Hukum dalam Dewan Hisbah.
Dalam pemhasan ini ada beberpa kumpulan penetapan hukum yang ditetapkan dalam Dewan Hisbah, yang mana permasalahan ini banyak terjadi kontroversi dengan Ormas lain yang dipandang berbeda dalam penetapan sebuah hukum. Dan pebahasannya melingkupi, sebagai berikut :
1.      Penerapan hadits ahkam tentang Isyarat telunjuk dalam Tasyahud.
2.      Penerapan Hadits Ahkam dalam Masbuk menedapatkan Ruku Imam.
3.      Penerapan hadits Ahkam dalam melafalkan niyyat.

c.       Rumusan Masalah
Dengan melihat garis sejarah dan peranan Dewan Hisbah diatas, maka rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pandangan Dewan Hisbah persis terhadap hadits?
2.      Bagaiamana manhaj Dewan Hisbah persis dalam beristidlal dengan hadits?
3.      Bagaimana realitas penerapan hadits-hadits hukum di Dewan Hisbah persis?

B.     PEMBAHASAN
a.    Pandangan Dewan Hisbah Persis Terhadap Hadits dalam Istinbath Al-Ahkam.
Al-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi Saw selain al-Quran baik ucapan, perbuatannya dan sikap diamnya (taqrir).
1)      Kehujahan Al-Sunnah
Para ulama telah sepakat bahwa al-Sunnah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum, Sunnah dapat berfungsi seperti Al-Quran dalam menentukan hukum halal dan haram, wajib atau sunah dsb. firman Allah :

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْـتَهُوْا
Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
اَلاَ إِنِّى اُتِيْتُ الْقُرْاَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ (ابوداود)
Ingatlah, sungguh aku telah diberi al-Quran dan  semisalnya yang menyertainya (HR. Abu Dawud)
 Kedudukan Sunnah dalam Tasyri Islam
Hubungan as-Sunnah dengan al-Quran dari segi kandungannya ada tiga macam:
  1. Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada dalam al-Quran maka hukum tersebut berarti mempunyai dua dasar hukum, yaitu al-Quran sebagai penetap atau penentu hukum, sementara as-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya, seperti: Perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, memakan riba dsb.
  2. Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, ‘am atau mutlaq.
Ayat-ayat al-Quran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam al-Sunnah, seperti perintah shalat dalam al-Quran dijabarkan dalam sabda Nabi Saw:
صَلُّـوْا كَمَـا رَاءَيْـتُمُـوْنِـى اُصَـلِّى
Perintah haji dijelaskan dengan sabdanya :
خُـذُوْا عَـنِّـى مَـنَاسِكَـكُمْ (رواه مسلم)
  1. Sunah berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan dalam al-Quran, seperti syari’at tentang ‘Aqiqah dan mengurus Jenazah ditetapkan berdasarkan sunah.
Terhadap fungsi sunnah ketiga ini ada kelompok yang tidak mau menerimanya, seperti faham/ kelompok inkarus-sunnah.
2)      Klasifikasi Sunnah dari Segi Datangnya Kepada Kita
Sunnah ditinjau dari segi banyaknya jalan periwayatannya dan penyandarannya dibagi dua yaitu: Muttawatir dan Ahad.
Mutawwatir: adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta, diterima dari banyak orang pula sampai periwayatannya kepada nabi Saw. melalui penglihatan atau pendengaran langsung.
Ahad: adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang serta terbatas dibawah jumlah mutawatir.
Maka dengan data tersebut hadits pun diklasifikasikan kepada dua, yaitu:
  1. Qoth’iyyul Wurud
  2. Dzoniyyul Wurud
     
3)      Dilalah As-Sunnah terhadap Hukum
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hadits ditinjau dari segi sampainya ke tangan kita ada yang Qath’iyyul Wurud dan ada yang Dzaniyyul Wurud, maka dilalahnya kepada hukum seperti al-Quran, ada yang qath’i (pasti) apabila lafadznya tidak mengandung beberapa makna, seperti sabdanya:
فِـى خَمْـسٍ مِنَ الاِبِـلِ شَـاةٌ
Ada juga Dzanni (tidak pasti), bila lafadznya mengandung beberapa makna, seperti:
لاَصَـلاَةَ إِلاَّبِفَـاتِحَـةِ الْـكِتَابِ
Hadits seperti ini masih memungkinkan adanya ta’wil, sehingga ada yang memahami “tidak sah” ini pendapat jumhur ulama, dan ada juga yang memahami “tidak sempurna”, seperti pendapat Hanafiyyah.
Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Quran dan Al-Sunnah.
b.   Manhaj Dewan Hisbah

Dewan Hisbah menentukkan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
Dasar utama adalah al-Quran dan hadits shahih:
a.     Di dalam beristidlal dengan al-Quran :
1)      Mendahulukan dlahir ayat al-Quran daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwiedl dalam hal-hal yang menyengktu masalah ‘istiqdaiyyah.
2)      Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqal dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Miraj.
3)      Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi kecuali jika ada qarinah, seperti kalimat “au lamstumun nisa-a” dengan pengertian jima’.
4)      Apabila ayat-ayat al-Quran bertentangan dengan hadits, maka didahulukan ayat al-Quran sekalipun hadits tersebut muttafaqun ‘alaih seperti dalam hal menghajikan orang lain,
5)      Menerima adanya Nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskhul kulli).
6)      Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahlul bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran dikalangan para sahabat.
7)      Mengutamakan tafsir bil ma’tsur daripada bir-ra’yi.
8)      Menerima hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan sighat haser, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan. 
b.    Dalam Beristidlal dengan Hadits :
1)      menggunakan hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum
2)      Menerima kaidah :
اَلاَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّى بَعْضُهَا بَعْضًا
Jika dla’ifnya hadits tersebut dari segi dabth (hapalan) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dlaifnya dari segi fisqur-rowi atau tertuduh dusta, maka qaidah tersebut tidak dipakai.
3)      Tidak menerima qaidah
اَلْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ يُعْمَلُ فىِ فَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ
      Karena yang menunjukkan fadlailul a’mal dalam hadits shahih pun banyak.   
4)      Menerima hadits shahih sebagai tasyri yang mandiri, sekalipun tidak merupakan bayan dari al-Quran.   
5)      Menerima hadits ahad sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shahih.
6)      Hadits mursal shahaby dan mauquf bi hukmil marfu dipakai sebagai hujjah selama sanad haditsnya tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan hadits lain yang shahih.
7)      Hadits mursal sahabi dijadikan hujjah apabila hadits tersebut disertai qorinah yang menunjukkan ittishalnya hadits tersebut.
8)      Menerima qaidah: al-jarhu muqoddamun ‘ala ta’diil, dengan ketentuan sebagai berikut.
a)      Jika yang menjarah menjelaskan jarahnya maka didahulukan jarah daripada ta’dil. 
b)      Jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, maka didahulukan ta’dil daripada jarah.
c)      Bila yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqot, maka jarahnya bisa diterima.   
9)      Menerima kaidah tentang sahabat:
الصَـاحَبَـةُ كُلُّهُـمْ عُـدُوْلٌ
10)  Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu jelas sigat tahamulnya menunjukkan ittishal seperi menggunakan kata hadatsani.   
c.     Dalam masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang shahih dalam al-Quran dan Hadits :
Ditempuh dengan ijtihad jama’i dengan rumusan-rumusan sebagai berikut :
1)      Tidak menerima ijma secara mutlak dalam rumusan ibadah, kecuali ijma sahabat.  
2)      Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair madlah diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.  
3)      Dalam memecahkan ta’arudl adilah diupayakan
a)      Thariqatul jami, selama masih mungkin di jam’u.
b)      Thariqatul tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya:
i.        Mendahulukan al-mutsbit dari pada an-nafi.
ii.      Mendahulukan hadits-hadits yang dalam shahihhain daripada diluar shahihhain. 
iii.    Dalam masalah-masalah tertentu hadits muslim lebih di dahulukan dari pada hadits bukhari, seperi dalam hal pernikahan Nabi dengan Siti Maemunah.  
iv.    Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan dari pada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunahnya.  
c)      Thariqatun naskhi, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.
d)     Dalam membahas masalah ijtihad, dewan hisbah menggunakan qaidah ushul fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.

c.       Metode Penerapan Hadits Ahkam
a.      Penerapan hadits ahkam tentang Isyarat telunjuk dalam Tasyahud.
قَالَ وَائِلُ بْنُ حُجْرٍ رضي الله عنه –فِيْ صِفَةِ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ ص.– ثُمَّ قَعَدَ فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ اْلأَيْمَنِ عَلَى فَخْذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ ثِنْتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْبِهَا

Wa’il ibnu Hujr ra. berkata: (tentang shifat shalat Rasulullah), “kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya, dan meletakkan kaki kirinya, dan meletakkan telapak tangan yang kiri di atas paha dan lutut yang kiri; dan beliau meletakkan ujung siku kanannya di atas paha kanannya kemudian menggenggamkan dua jarinya (kelingking dan jari manis) lalu membuat satu bulatan (ibu jari dan jari tengahnya) dan mengangkat jari (telunjukkanya). Aku melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya sambil berdoa dengannya.[1]
قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ رضي الله عنهما: كَانَ رَسُوْلِ اللهِ ص. إِذَا قَعَدَ يَدْعُوْ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُسْرَى وَ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ السَّبَابَةِ

Ibnu az-Zubair ra. berkata, Rasulullah Saw. apabila duduk berdoa (tahiyyat), meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya; dan beliau berisyarat dengan telunjuknya.[2]   

Derajat Hadits Laa Yuharrikuha
قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ رضي الله عنهما: كَانَ النَّبِيُّ ص. يُشِيْرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا

Ibnu az-Zubair ra. berkata, Nabi Saw. berisyarat dengan telunjuknya apabila berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya.[3]
            Pertama Imam Ibnu al-Qayyim, di dalam kitabnya, Zad al-Ma’ad 1:60 berkata, “Mengenai Hadits riwayat abu Dawud dari Abdullah ibn az-Zubair bahwa Nabi Saw. berisyarat dengan telunjuk dan tidak menggerak-gerakkannya, maka tambahan “tidak menggerak-gerakkannya” itu tentang ke-shahih-annya terdapat kritikan, karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut Hadits ini dengan panjang pada kitab shahih-nya dari ‘Abdullah ibnu az-Zubair dan ia tidak menyebut tambahan ini. Tetapi ‘Abdullah ibnu az-Zubair berkata:
“Rasulullah Saw. apabila duduk di dalam shalat, ia menjadikan kaki kirinya di antara paha dan betisnya dan menghamparkan kaki kanannya, dan meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya serta meletakkan tangan kanannya di atas kaki kanannya sambil berisyarat dengan jari (telunjuk).”
            Lagipula Hadits riwayat Abu Dawud dari ‘Abdullah ibnu az-Zubair ini tidak menunjukkan di dalam shalat, dan andaikan menunjukkan dalam shalat, keadaan haditsnya nafi (meniadakan menggerak-gerakkan). Sedangkan hadits Wa’il ibnu Hujr itu mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan); dan yang mutsbit itu lebih didahulukan (daripada yang nafi’). Selain itu, Hadits Wa’il ibnu Hujr adalah Hadits shahih sebagaimana telah diterangkan oleh Abu Hatim pada kitab Shahih-nya.
Pen-tahqiq Zad al-Ma’ad menilai bahwa Hadits Wa’il ibnu Hujr itu sanadnya shahih. Demikian pula Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Hadits ‘Abdullah ibnu az-Zubair sanadnya hasan bahkan dinyatakan shahih oleh an-Nawawiy di dalam al-Majmu’ (Pen-tahqiq ‘Abdu al-Qadir al-Arnauth dan Syu’aib al-Arnauth 1:238).
Kedua, Nashiruddin al-Albaniy pada kitabnya, shifat shalat Nabi Saw. (al-Maktab al-Islamiy cet IV hlm. 170), mengatakan,
“Dan Hadits bahwa ia tidak menggerakkan telunjuknya tidaklah tsubut (kuat) dalam hal sanadnya, sebagaimana telah saya terangkan pada Dla’if Abi Dawud no. 175. dan kalaupun tsubut, Hadits itu nafi (meniadakan adanya menggerak-gerakkan telunjuk), sedangkan hadits dalam bab ini (dari Wa’il ibnu Hujr) mutsbit (menyatakan adanya menggerak-gerakkan telunjuk). Yang mutsbit mesti didahulukan atas yang nafi, sebagaimana telah diketahui di kalangan para ‘ulama.”
Hadits ‘Abdullah ibnu az-Zubair itu diriwayatkan oleh Abu Dawud (Kitab ash-Shalat bab al-isyarat fi at-tasyahhud I: 227), an-Nasa‘i (pada bab Qabdli ats-tsintaini min ashabi’I al-yahi al-yumma wa aqdi al-wustha wa al-ibham 1:31-32), semuanya dari jalan Hajjaj dari ibnu Juraij, dari Ziyad, dari Muhammad Ibnu Ajlan, dari Amir ibnu ‘Abdillah ibnu az-Zubair, dari ‘Abdullah ibnu az-Zubair, bahwa Nabi berisyarat dengan telunjuknya apabila berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya.
Ibnu Juraij berkata, “Dan Amr ibnu Dinar menambahkan. Ia berkata, Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku dari ayahnya (‘Abdullah ibnu az-Zubair) bahwa ia telah melihat Nabi Saw. berdoa seperti itu dan Nabi Saw. meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.

Keterangan dan Takhrij Hadits
1.      Rawi yang bernama Hajjaj pada sanad ini adalah Hajjaj ibnu Muhammad sebagaimana tercantum pada sanad al-Baihaqiy.
2.      Yang disebut Ziyad adalah Ziya ibnu Sa’ad ibnu ‘Abdurrahman ia seorang rawi tsiqat dan tsabit (kuat) (Tahdzib at-Tahdzib 3: 369).
3.      Perkataan Ibnu Juraij, “Amr ibnu Dinar menambahkan: ia berkata, “Amir telah mengabarkan kepadaku dari ayahnya dan seterusnya. Pertama, Ziyad dengan lafadz (shighat al-ada’) akhbarani (telah mengabarkan kepadaku). Kedua, ‘Amr ibnu Dinar dengan lafadzh (shighat al-ada), qaala (ia berkata), takni ‘Amr Ibnu Dinar.
4.      Dinar yang menerima dari ‘Amir ibnu ‘Abdillah az-Zubair ada dua orang rawi, yaitu Muhammad ibnu ‘Ajlan dan ‘Amr ibnu Dinar.
Jelasnya hadits ini diriwayatkan dari ‘Amir ibnu ‘Abdillah ibnu az-Zubair ada dua orang rawi, yaitu Muhammad ibnu Ajlan dan ‘Amr ibnu Dinar.
Jelasnya hadits ini diriwayatkan dari Amir ibnu Abdillah ibnu az-Zubair, dari ayahnya, melalui dua jalan:
Jalan Pertama              Hajjaj
                                    Ziyad
                                    Muhammad ibnu Ajlan
                                    ‘Amir ibnu Abdillah ibnu az-Zubair
                                    ‘Abdullah ibnu az-Zubair
Dengan lafadz yang artinya: “Nabi Saw. berisyarat dengan telunjuknya apabila berdo’a dan beliau tidak menggerak-gerakkannya.
Pada sanad ini terdapat dua illat (cacat).
Pertama, Hajjaj ibnu Muhammad. Walaupun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir usianya ia ikhtilath (pikun) dan dalam keadaan demikian masih meriwayatkan hadits (Tahdzib at-Tahdzib 2: 205-206).
Pada riwayat ini tidak diketahui atau paling tidak diragukan apakah ia meriwayatkannya sebelum ikhtilath atau sesudahnya. Terhadap riwayat yang seperti itu, hukumnya didiamkan atau dianggap lemah sebelum terdapat keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya.
Kenyataannya Hajjaj ibnu Muhammad menyendiri dalam pertiwayatannya ini. Sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir ibnu ‘Abdullah dari ‘Abdullah ibnu az-Zubair tidak kita dapati tambahan ‘laa yuharrikuhaa’. Kecuali dari jalan Hajjaj ibnu Muhammad (lihat riwayat Ahmad dan Muslim).
Kedua, Muhammad ibnu ‘Ajlan. Rawi ini menyatakan tsiqat oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim Abu Zur’ah, al-Ijili, as-Saji, digunakan oleh Abu Dawud at-Tirmidziy, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya. Tetapi Bukhary tidak menggunakannya pada kitab shahih-nya sebagai dasar atau hujjah tetapi hanya pada riwayat-riwayat mu’allaq sebagaimana diterangkan oleh al-Hafidz pada Muqaddimat Fath al-Baariy hal. 458.
Adapun tentang Imam Muslim, Ibnu Hajar menerangkan, “Hanya saja Imam Muslim men-takhrij-nya sebagai mutabi’at dan ia tidak menggunakannya sebagai hujjah (Tahdzib at-Tahdzib 9: 341-342, Mizan al-I’tidal 3: 644-647).
Al-Hafidz ibnu Hajar pada kitabnya Thabaqat al-Mudallisin, hal. 69. telah memasukkannya pada martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis. Mereka (para mudallis) tidak dijadikan hujjah oleh para imam kecuali mereka menegaskan di dalam hadits-haditsnya yang menunjukkan bahwa mereka mendengar (langsung). Muhammad ibnu ‘Ajlan, pada sanad hadits ini ber-mu’an’anat (meriwayatkan dengan lafadz tadlis-nya). Dengan demikian, riwayatnya ini tidak dapat diterima, terutama kalau kita perhatikan riwayat Ahmad (al-Musnad lii al-Imam Ahmad 5: 499 no. 16100). Dalam riwayat ini, Muhammad ibnu ‘Ajlan menerima dari ‘Amir ibnu ‘Abdullah dengan lafadz tahdits (tidak tadlis) yang pada riwayat ini tidak ada tambahan wa laa yuharrikuhaa.
Selain bertentangan dengan periwayatannya sendiri, ia pun bertentangan dengan riwayat-riwayat lain, di antaranya periwayatan ‘Utsman juga tanpa tambahan laa yuharrikuhaa.

Jalan Kedua          Hajjaj ibnu Muhammad
                              Ibnu Juraij
                              ‘Amir ibnu Dinar
                              ‘Amir ibnu ‘Abdillah
                              ‘Abdullah ibnu az-Zubair                               
Dengan lafadz yang artinya, “Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Saw. berdoa seperti itu dan ia meletakkan tangan kirinya di atas pahanya”. Pada jalan sanad ini pun terdapat dua ‘illat, yaitu Hajjaj ibnu Muhammad (telah dirangkan di atas) dan Ibnu Juraij.
Nama lengkap Ibnu Juraij adalah ‘Abd al-Malik ibnu ‘Abd al-Aziz ibnu Juraij. Ia seorang rawi yang tasiqat, dipakai oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, asy-Syafi’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, ad-Dzaruqutni, Ibnu Hibban, al-Hakim, ath-Thabrani dan lain-lainnya.
Adz-Dzahabi, di dalam kitabnya Siyar A’laam an Nubalaa 6:  332, menerangkan sebagai berikut:
Riwayat-riwayat Ibnu Juraij banyak terdapat di Kutub as-Sittat, Musnad Ahmad, Mu’jam ath-Thabraniy dan al-Ajza’. Walaupun demikian, Ibnu Juraij termasuk rawi yang mudallis yang ke-tadlis-annya itu telah dinyatakan oleh Yahya ibnu Sa’id, ahmad ibnu Hanbal, dan adz-Dzahabiy.”
Ibnu Hajar menyatakan, “Ia men-tadlis dengan lafazh ‘an qala, ukhbirtu ‘an fulan, hudditsu ‘an fulan.
Imam Ahmad memuji Ibnu Juraij dan menerima riwayatnya, jika ibnu Juraij dalam periwayatannya memakai lafazh akhbarani atau sami’ti. Tetapi bila Ibnu Juraij berkata, “Telah berkata si Fulan dan “Dikabarkab kepadaku”, ia membawa Hadits yang munkar (Siyar A’lam an-Nubala’ 6:328).
a.       Pada riwayat yang dipakai Ibnu Juraij menggunakan lafazh qala, jelaslah tadlis-nya itu. Dengan demikian, maka  derajat hadits la yuharrikuha adalah dla’if.

b.      Penerapan Hadits Ahkam dalam Masbuk menedapatkan Ruku Imam.
1.    Hadits tentang kewajiban membaca Al-Fatihah pada setiap raka'at shalat, antara lain :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَامِتِ أَنَّ الرَسُوْلُ اللهِ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَالَ  : ( لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ )
Dari Ubadah bin Ash-Shamit, "sesungguhnya Rasululloh saw. telah bersabda tidak shah seorang yang tidak membca Al-Fatihah". HR. Al-Jama'ah[4]

2.    Hadits Rasululloh saw tentang ketentuan Raka'at antara lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ دَخَلَ المَسْجِدِ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَسَلَّمَ عَلَى النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَرَدَّ وَقَالَ ( اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ) ثَلاَثًا فَقَالَ وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِمْنِي ؟ فَقَالَ ( إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَرَ مَعَكَ مِنَ القُرْاَنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلُّهَا )
Dari Abu Hurairoh sesungguhnya Nabi saw masuk ke masjid, kemudian seorang laki-laki datang lalu shalat, kemudian salam kepada Nabi dan Nabi pun membalas salamnya. Lalu nabi bersabda : "Kembalilah shalat sesungguhnya kamu tidak shalat"(tiga kali beliau mengulangi demikian). Kemudian dia berkata : Demi dzat yang mengutusmu dengan hak, aku tidak bias melakukan yang baik selain dari itu, maka ajarkanlah kepdaku, Beliau bersabda: "Apabila kamu shalat hendaklah takbir, kemudian bacalah Al-Qur'an yang ringan yang kamu hafal, kemudian rukulah sehingga tumakninah, kemudian bangkitlah sehingga tegak berdiri. Lalu sujudlah sehingga tumakninah, kemudian sujudlah sehingga tumakninah. Lakukanlah yang demikian itu di dalam seluruh salatmu"HR. Bukhari[5]

3.    Hadits Rasululloh saw tentang ketentuan masbuq, antara lain :
إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ فَلاَ يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ وَلَكِنْ لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ.
"Apabila shalat telah dilaksanakan, janganlah seseorang berjalan dengan tergesa-gesa mendatangi shalat itu, tetapi hendaklah ia tenang. Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnaknalah apa yang terlewat" HR. Muslim[6]

( إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )
"Apabila kalian mendatangi shalat, hendaklah tenang. Apa yang dapat kalian susul maka lakukanlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah."HR. Bukhari[7]

4.    Hadits yang menyatakan masbuq mendapatkan ruku imam selama imam belum berdiri I'tidal dihitung raka'at, anatara lain :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيْمَ الاِمَامُ صُلْبَهُ
Dari Abi Hurairoh ia berkata dari Nabi saw :"Barangsiapa menyusul satu raka'at dari shalat maka ia telah menyusul raka'at itu sebelum imam meluruskan punggungnya" HR. Ad-Daruquthni[8]

5.    Hadits tentang peristiwa Abu Bakrah yang melakukan ruku sejak sebelum masuk shaf

أَنَّ أَبَا بَكْرَةَ جَاءَ وَرَسُولُ اللَّهِ رَاكِعٌ فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ فَلَمَّا قَضَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- صَلاَتَهُ قَالَ « أَيُّكُمُ الَّذِى رَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّفِّ ». فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ أَنَا. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ ».
"Sesungguhnya Bu Bakrah dating ketika Rasul sedang rurku, lalu ia ruku di luar shaf shalat kemudian berjalan (dalam keadaan ruku) menuju shaf. Ketika nabi selesai shalatnya, beliau bersabda: "siapa diantara kalian yang ruku di luar shaf shalat kemudian berjalan menuju shaf ? Maka Abu Bakrah berkata: "Saya", Kemudian Nabi bersabda, semoga Allah menambah semangatmu dan janganlah kamu mengulangi" HR. Al-Jama'ah[9]
صَلَّ مَا أَدْرَكْتَ ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ
"Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnakanlah apa yang terlewat"[10]

Lampiran data Tambahan

Hadits Abu Bakrah
Diantara dalil-dalil yang dijadikan acuan oleh kelompok yang berpendapat bahwa ma'mum masbuq dapat melakukan ruku bersama imam, sebelum imam itu menegakkan tulang punggungnya, maka ia mendapatkan raka'at itu adalah peristiwa Abu Bakrah sebagai berikut :
عَنِ الحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ : أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ رَاكْعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَ ( زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَتََعُدْ )
Dari al-Hasan, dari Abu Bakrah, sesungguhnya ia sampai kepada Nabi saw, ketika sedang ruku, lalu ia ruku sebelum sampai ke shaf, kemudian ia menceritakan kepada nabi saw, maka beliau bersabda :"semoga Allah menambah semangat terhadapmu dan janganlah engkau ulangi"HR. Bukhari
Menurut mereka, "pada hadits ini diterangkan dengan jelas bahwa Abu Bakrah menjadi makmum masbuq mendapatkan imam (nabi saw) sedang ruku, lalu dia ruku bersama imam, dan Nabi tidak memerintahkannya menabah rakaat lagi"[11]

Tanggapan
Pada hadits Abu Bakrah (jalur riwayat I) tidak ada keterangan bahwa :
·         Ia dipandang telah mendapatkan rakaat itu.
·         Ia tidak diperintah untuk mengulanginya.
Dengan demikian Hadits tersebut (sampai kepada wala ta'ud) tidak ada hubungannya dengan masalah makmum masbuqmendapatkan raka'at atau tidak. Karena imam Asy-Syaukani berkata, "pada hadits itu tidak ada keterangan dapat dijadikan dalil pendapat mereka, karena sebagaimana ia tidak diperintah mengulangi shalat tidak ada keterangan pula bahwa nabi menganggap ia mendapatkan rakaat itu. Sedangkan du'a Nabi "semoga Allah menambah semangat' tidak berarti ia mendapatkan raka'at itu"[12]
Namun riwayat Bukhari dalam kitabnya juz al-Qira'ah Khalfal imam, terdapat perintah dari Nabi kepda Abu Bakrah untuk menambah rakaat yang terlewat itu dengan kalimat :

صَلَّ مَا أَدْرَكْتَ ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ
"Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnakanlah apa yang terlewat"[13]
Perintah Nabi kepada Abu Bakrah menunjukan bahwa :
  1. Makmum yang masbuq mendapatkan imam (Nabi saw), sedang ruku, lalu dia ruku bersama imam, maka dipandang ketinggalan rakaat.
  2. Yang menjadi tolak ukur makmum mendapatkan satu rakaat bukan rukunya imam.
Riwayat Abu Bakrah ini (jalur riwayat II) sesuai dengan keumuman perintah yang senantiasa dikemukakan oleh Nabi saw kepada makmum yang masbuq.

إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ فَلاَ يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ وَلَكِنْ لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَالْوَقَارُ صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ.
"Apabila shalat telah dilaksanakan, janganlah seseorang berjalan dengan tergesa-gesa mendatangi shalat itu, tetapi hendaklah ia tenang. Lakukanlah apa yang kamu dapati dan sempurnaknalah apa yang terlewat" HR. Muslim[14]

( إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا )
"Apabila kalian mendatangi shalat, hendaklah tenang. Apa yang dapat kalian susul maka lakukanlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah."HR. Bukhari[15]
Apabila pemaknaan hadits Abu Bakrah itu tidak demikian, maka hadits terseut akan menyalahi keumuman perintah tersebut. Sehubungan dengan masalah tersebut Abu Hurairoh menyatakan:


اِذَا أَدْرَكْتَ القَوْمِ رُكُوْعًا لَمْ يُعَتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ
"Apabila kamu menyusul jama'ah sedang ruku, maka rakaat itu jangan dihitung"
Pernyataan tersebut semakin mempertegas sikap sahabat terhadap masalah masbuq mendapati imam sedang ruku, adapun penilaian matruk terhadap ma'qil dari al-'Azri tidak akan mempengaruhi sikap para sahabat tersebut, karena penilaian al-Azdi itulah yang matruk (ditinggalkan). Ibnu Hajar menyatakan: "Sangkaan al-Azdi bahwa Ma'qil matruk adalah keliru"[16]

Riwayat Abu Dawud
Menurut mereka makna, Hadits Abu Bakrah sejalan dengan riwayat Abu Daud, dengan lafal :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا قَبْلَ أَنْ يُقِيْمَ الاِمَامُ صُلْبَهُ
Dari Abi Hurairoh ia berkata dari Nabi saw :"Barangsiapa menyusul satu raka'at dari shalat maka ia telah menyusul raka'at itu sebelum imam meluruskan punggungnya" HR. Ad-Daruquthni[17]

Tanggapan
Hadits Abu Daud sebagaimana dijelaskan di atas tidak ditemukan dalam riwayat Abu Daud kecuali menggunakan redakasi :
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ[18]
Redaksi seperti itu justru kami temukan pada riwayat Ad-Daruqutni[19], namun haditsnya dhai'f dilihat dari aspek sanad dan matan. Pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Qurrah bin Abdurrahman. Abu Zur'ah berkata, "Hadits-hadits yang diriwayatkannya munkar" Ad-Daraquthni berkata, "tidak kuat dalam periwayatan hadits"[20], kemudian dilihat dari segi matan, hadits ini dikategorikan mudraj fil matn (terdapat tambahan kalimat pada matannya), yakni kalimat qabla an yuqimal imamu shulbahu. Karena pada riwayat Ma'mar, Malik, yunus, Ibnu Juraij, Sufyan bin Uyainah, dan al-Auza'I tidak ada kalimat itu. Semuanya hanya meriwayatkan samapai faqad adrakaha.

c.       Penerapan hadits Ahkam dalam melafalkan niyyat
Pengetian Niyyat
Menurut Bahasa, niyyat adalah al-qashdu (bermaksud).
Niyyat Mnurut Syara
Menurut Syara, pengertian niyyat sebagai berikut :
"menghadapnya hati ke arah pekerjaan karena mengharap ridha Allah dank arena melaksanakan perintah-Nya"[21]
Tempat niyyat adalah di hati, sebagaimana dinyataqkan oleh sebagian ulama, seperti Syyid sabiq dalm Fiqh as-sunnat dan as-Sa'ati dalam Fath ar-Rabbaniy.
"Tempatnya (dalam) hati dan amal hati yang mahlat (khusus)"
Selanjutnya mengenai niyyat, A Hassan menjelaskan dalam bukunya[22], sebagai berikut :
"Kalau seseorang mengerjakan sesuatu dengan sengaja, maupun perkara ibadah atau yang lainnya, maka dinamakan ia orang yang telah berniat. Seorang yang di dalam tidurnya menampar atau menendang sesuatu maka dikatakan tidak berniyyat pada mengerjakannya. Kalau seseorang memecahkan sesuatu atau menikam seseorang lantaran melatah (terperanjat), maka dinamakan seseorang itu tidak sengaja atau tidak berniyyat.

Dengan contoh di atas, maka nyatalah bagi kita, bahwa niyat itu adalah disengaja. Orang yang mengerjakan sesuatu ibadah dengan tidak ada niyat tidak patut dianggap sah, sebagaimana orang yang mengerjakan kesalahan dengan tidak disengaja itu tidak berdosa.

Sebagian ulama berkata bahwa orang yang berwudhu itu wajib menyertakan niyat di waktu cuci muka, tidak boleh dahulu dan tidak boleh kemudian . begitu juga sembahyang wajib takbir bersama-sama niyat, tidak boleh terdahulu atau kemudian niyat. Hal ini mereka namakan : Muqaranah"

Pendapat ulama yang semacam itu tidak beralasan dengan Qur'an dan Hadits, tetapi beralasan pemikiran yang keliru tentang memahami Hadits :

انما الاعمال بالنيات
Begitulah pendapat A.Hassan, guru persatuan Islam yang dikutip dari bukunya, Pengajaran Shalat.
Kalau kita perhatikan bunyi hadits tersebut secara keseluruhan (tidak sepotong sepotong), kita akan mengerti bahwa sabda Rasululloh saw tidak menyuruh Muqaranat (menyertakan) niyat pada waktu cuci muka atau waktu takbir dan sebagainya, tetapi mewajibkan kita ikhlas karena Allah dalam mengerjakan ibadah. Kalau tidak begitu, kita tidak akan mendapatkan ganjaran dari Allah swt.

A.Hassan berkata: "Niyat kalu betul wajib disertakan di permulaan suatu Ibadah, maka bagaimana caranya menepakan niat puasa? Apakah wajib kita tunggu terbitnya fajat buat muqaranah-kan niat puasa itu?".
Dengan ketrangan-ketrangan diatas, kita bias menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan niyyat pada hadits "innama al-'amalu bi an-niyyat" itu adalah ikhlas.
Dengan Ikhlash dan cara yang disyari'atkan oleh Allah swt, ibdaha akan bersih dari sifat riya dan sum'at, keduanya merupakan salah satu cabang dari sifat syirik. Inilah yang wajib disertakan pada setiap ibdah dan menambahkan ruh dalam ibadah. Orang yang memperhatikan niyyat sungguh telah memperhatikan ibadah terhadap Allah swt, sedangkan terhadap orang yang hanya melaksanakan bentuk-bentuk ibdahanya saja tanpa memperhatikan niyyat syari'atnya, Allah tidak akan menerimanya pada hari perhitungan nanti sebab ibadah itu tidak berfungsi mensucikan dirinya di dunia.

Perihal melafalkan Niyyat
Melafalkan niyyat, misalnya membaca "ushalli" termasuk ibadah mahdlat yang tidak disyari'atkan Allah swt, tidak dicontohkan oleh rasululloh saw. tidak ada seorang sahabat pun yang mengamalkan 'talafudz bi an-niyyat', begitu juga para tabiin dan para imam yang empat. Dengan demikian, 'talafudz bi an-niyyat' hukumnya bid'ah, suatu ma'shiyat dalam ibadah.

Mengenai hal ini, Syekh Muhammad rasyid Ridla menjelaskan dalam kitabnya[23], yang artinya sebagai berikut :
" Dan diantara yang aneh-aneh bahwasannya mereka bodoh (tidak tahu) hakikat niyyat yang disyari'atkan, yang mana niyyat itu diantara pekerjaan hati yang madlat, mereka membuat bid'ah (menciptakan)" kalimat Allah dan Rasul-Nya tidak dikenal dalam sunnah juga tidak dikenal di kalangan para ulama salaf. Mereka telah berlebih-lebihan dalam mengucapkan niyyat secara fasih sehingga menggangu orang lain yang sedang melaksanakan shalat. Diantara mereka banyak yang was-was dan mengulang-ngulang ucapan dengan suara yang nyaring, "Nawaitu faridha …."sampai akhir ucapan itu. Demikian juga mereka perbuat niyyat shalat pada takbiratu al-ihram. Mereka yang was-was itu kebanyakan dari golongan syafi'iyat, yakni sebagian dari golongan fuqaha yang memperdalam falsafah niyyat. Mereka mensyaratkan bahwa yang shalat itu harus dapat membayangkan seluruh rukun-rukun shalat qauliyyat dan fi'liyyat, pada waktu permulan shalatnya, yaitu antara mengucapkan hamzat dari lafadz yang di-fathat-kan dan ra dari ucapan Akhbar yang disukunkan (kalimat Allahu Akbar). Demikian itu untuk menyatakan arti qashdu asysyai muqtaranunli fi'lihi. Padahal yang ma'lum fi adl-dlaruriy (yang diketahui dengan pasti), yang dituntut pada setiap dzikir adalah tashawwur (terbayangnya dalam jiwa) arti dzikir-dzikir itu. Dengan demikian tidak boleh bagi yang shalat men-tasawwur pada waktu mengucapkan takbiratu al-Ihram kecuali makna takbir atau kebesaran Allah yang maha Tinggi dan maha Agung ".

C.    KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
  1. Pandangan Dewan Hisbah persis terhadap hadits.
Al-Sunnah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum, Sunnah dapat berfungsi seperti Al-Quran dalam menentukan hukum halal dan haram, wajib atau sunah
  1. Manhaj Dewan Hisbah persis dalam beristidlal dengan hadits.
Dewan Hisbah menentukkan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
Dasar utama adalah al-Quran dan hadits shahih:
1.      Di dalam beristidlal dengan al-Quran
2.      Beristidlal dengan Hadits
3.      Dalam masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang shahih dalam al-Quran dan Hadits, ditempuh dengan ijtihad jama’i.
c.       Realitas penerapan hadits-hadits hukum di Dewan Hisbah persis.
Perihal melafalkan Niyyat
1.      Penerapan hadits ahkam tentang Isyarat telunjuk dalam Tasyahud
Sunnah Nabi adalah mengisyaratkan dengan menggerak-gerakan telunjuk, dan hadits yang mengemukakan sebaliknya adalah dhaiif.
2.      Penerapan Hadits Ahkam dalam Masbuk menedapatkan Ruku Imam
Perintah Nabi kepada Abu Bakrah menunjukan bahwa :
  1. Makmum yang masbuq mendapatkan imam (Nabi saw), sedang ruku, lalu dia ruku bersama imam, maka dipandang ketinggalan rakaat.
  2. Yang menjadi tolak ukur makmum mendapatkan satu rakaat bukan rukunya imam.
3.      Penerapan hadits Ahkam dalam melafalkan niyyat
Melafalkan niyyat, misalnya membaca "ushalli" termasuk ibadah mahdlat yang tidak disyari'atkan Allah swt, tidak dicontohkan oleh rasululloh saw. tidak ada seorang sahabat pun yang mengamalkan 'talafudz bi an-niyyat'


BIBLIOGRAFI

A. Hasan, Ijma, Qiyas, Madzhab, Taqlid. LP3EB, Bangil, 1984.
________, Soal Jawab tentang berbagai masalah Agama. Diponegoro, Bandung. 1980.
________, Tafsir al-Furqan. Bangil, 1972.
________, Pengajaran Shalat, Bandung : CV. Dipenogoro, 1990 M.
________, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung : CV. Dipenogoro, 1989 M.
Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna, al-Fath ar-Rabbaniy, Beirut : Dar Ihya’ at-Tirats, t.th.
Ahmad ibnu Syu’aib Abu Abdirrahman an-Nasaiy, as-Sunan an-Nasaiy, Beirut: Dar Maktabat al-‘Iliyyat, Cet. I 1411 H / 1991 M.
Al-‘Allamat Khalil Ahmad as-Saharnafuri, Badzl al-Majhud Syarh Sunan Abu Dawud, Dar al-Bayn, 1908 H / 1988 M.       
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Maktabat Dar al-Baz, 1414 H/ 1994 M. 
____________________________, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut: Dar Sadir, 1325 H.
Asmuni Abdurrahman, Mekanisme Dalam Pengambilan keputusan Hukum di kalangan Muhammadiyah. 1412 H.
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnat, Beirut: Dar al-Fikr, 1397 H / 1977 M.
As-Shiddieqi, Prof. Dr. Hasbi, Pokok-pokok sebab-sebab perbedaan faham fukoha dalam menetapkan hukum syara, Romdon, Solo. 1992.
Badri Khaeruman, Islam Ideologis (Persfektif Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis), PT. Rakasta Samsta:  Jakarta, 2005.
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis (1923-1983), Gema Syahida. Bandung, 1995.
Dewan Hisbah PP. Persis, Risalah Shalat. Risalah Press: Bandung, 2005. 
Jalalluddin as-Suyuthiy, Syarh Sunan an-Nasa’iy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1412 H / 1992 M.
K.H.A Ghazali, Sosok dan Pemikiran KH.E. Abdurrahman, Makalah pada seminar sehari perjuangan KH.E. Abdurrahman, Bandung, 20 Juli 1997.
M. Isa. Anshari, Mujahid Dakwah.  CV. Dipenogoro, Bandung. 1984.
Majalah Risalah No. 4 Tahun II, Oktober 1963
Muhammad ibnu ‘Abdillah Abu ‘Abdillah an-Naisaburiy al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Beirut : Dar Maktabat al-‘Ilmiyyat, Cet. I 1411 H/1990 M.
Muhammad ibnu ‘Aliy ibnu Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Makkah: Dar al-Baz, t.th.    
Muhammad ibnu ‘Utsman Abu Abdillah adz-Dzahabiy, Mizan al-I’tidal, Beirut : Dar al-Ma’rifat, t.th.
Muhammad ibnu Isa Abu Isa at-Tirmidziy, Sunan at-Tirmidziy, Dar Ihya, t.th.
Muhammad ibnu Isma’il al-Kahlainiy ash-Shan’aniy, Subul as-Salam Syarh Bulughul al-Maram, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad ibnu Ismail Abu ‘Abdillah al-Ju’fiy al-Bukhaiy, Shahih al-Bukhariy, Berut: Dar Ibnu Katsir, Cet. III, 1407 H/ 1987 M.
Muhammad Ibnu Yazid Abu ‘Abdillah al-Qawiniy, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.  
Muslim ibnu al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, Beirut: Daru Ihya’ at-Tirats al-‘Arabiy, t.th.  
Nurwahid, M Fauzi, KH.E. Abdurrahman dan Peranannya dalam Persis. Skripsi IAIN Syarif Hidayat Tullah, Jakarta, 1988.
Shiddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjamaah, Tafakur: Bandung, 2005.   
Sulaiman ibnu Ahmad ibnu Ayyub Abu al-Qasim ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, Kairo: Dar al-Haramain, 1415 H.     
Sulaiman Ibnu al-Asy’ats Abu Dawud as-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.  
Syaikh al-islam ar-Raziy, al-Jarh wa at-Ta’dil, Beirut : Dar al-Fikr, 1905 H / 1958 M.
UA. Saefuddin, Fiqhud Da’wah KH.E. Abdurrahman, TB. Al-Huda, Bandung, 1996.
KH. Utsman Shalibuddin, Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dewan Hisbah. Makalah disampaikan pada seminar hukum Islam pada Fakultas Syari’ah. Bandung. 1998.          
Yahya, Mukhtar, Prof. DR, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islami, Al-Ma'arif, 1985.



[1] Shahih Ibnu Khuzaimah 1:354 no. 714, Shahih Ibnu Hibban 5:170 no. 1860, Sunan an-Nasay 2:126 no.889, 3:37 no.1268, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal 4:328, al-Mu’jam al-Kabir 22:35 no.82.
[2] Shahih Muslim 1:408 no.579.
[3] Sunan Abi Dawud 1:260 no.989, Sunan an-Nasaiy 3:37 no.1270, Musnad Abi Awanah 1:539 no. 2019.
[4] Nailul Authar II:229
[5] Fathul Bari, II:227
[6] Shahih Muslim, I:420
[7] Shahih Bukhari, I:228
[8] Sunan Ad-Daruquthni I:272
[9] Sunan Abu Dawud I:239
[10] Ad-Dirayah fi Takhrij Ahaditsil Hidayah I:171, Nashbur Rayah, II:26.
[11] Majalah As-Sunnah, Edisi 03/Tahun VII/2003
[12] Aunul Ma'bud III:103
[13] Ad-Dirayah fi Takhrij Ahaditsil Hidayah I:171, Nashbur Rayah, II:26.
[14] Shahih Muslim, I:420
[15] Shahih Bukhari, I:228
[16] Taqribut Tahdzib, I:540
[17] Majalah As-Sunnah, Edisi 03/Tahun VII/2003
[18] Sunan Abu Daud, Beirut, Dar Al-Fikr, 1990, I:251. Hadits no 1121
[19] Sunan Ad-Daruqutni, Dar Al-Fikr, 1994, Juz 1, hal 272
[20] Tahdzbul kamal, XXII:583-584
[21] Al-Mughi 178
[22] Pengajaran shalat, Juz 3 hal 4
[23] Al-Manar 6:246

1 komentar:

  1. Assalamu’alaykum Warahmatullahi wabarakaatuh, mohon penjelasan perihal Isyarat telunjuk pada saat tasyahud, yg meriwayatkan hadist dari Wa’il ibnu Hujr ra.apa betul??? ada 12 orang bahkan ada yg menyebutkan 20 dari 12 orang ini hanya 1 orang yg menyebutkan isyarat telujunk dan digerak gerakan sedangkan yg 11 orang tidak sehingga ada kesan bahwa yg lebih kuat adalah pendapat yg 11 orang itu hujjah lebih kuat atau yg 11 orang hadistnya dhaif sehingga yg 1 orang itu yg lebih kuat...mana yg betul

    BalasHapus