Sabtu, 09 Juli 2011

Hadits pada masa tadwin


Hadits pada masa tadwin

A. Muqaddimah       
Masa pembukuan hadits dan pengumpulannya adalah periode keempat, dimulai pada masa Pemerintahan Amawiyah angkatan kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz) 100 H - 200 H. Periode ke lima (200 – 300 H) dan periode keenam (300-656 H). Dinasti Abbasiyyah (133 – 656 H)[1]. Pada masa dinasti ini lahir imam madzbab yang empat yang disebut madzaahibul ‘arba’ah yakni Imam Abu Hanifah (80-150 H) Imam Maliki (93–179 H) Imam Syafi’i (150-204 H) Imam Ahmad ibn Hanbal (146-241 H). Selain itu lahir pula ahli hadits ternama seperti Bukhari, Muslim Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibn Majah. Imam Madzhab yang empat dan para ahli hadits ini kitab-kitabnya tersebar keseluruh dunia dan menjadi bahan rujukan. 
Sejak sebelum masa pemerintahannya, daerah Islam telah meluas sampai daerah-daerah jazirah Arab. Ini membawa akibat, para sahabat menjadi ke daerah-daerah Islam untuk mengembangkan Islam dan membimbing masyarakat setempat. Di samping itu, para Sahabat, karena factor usia dan akibat terjadinya peperangan- peperangan, banyak yang telah meninggal dunia. Ini berarti, bahwa pada awal pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, jumlah muhadits penghapala hadits yang masih hidup semakin tinggal sedikit. Padahal, Hadits Rasul masih belum  dibukukan secara resmi.
Khalifah menghadapi perkara yang paling parah yakni makin berkembangnya hadits-hadits maudhu' hal ini tentu akan sangat mengancam kelestarian ajaran Islam yang benar.
B. Rasulullah melarang dan memerintahkan untuk menulis hadits
ا كتبوا عنّى شيئاً الاّ القرآن و من كتب عنّى غير القرآن فليمحه .رواه مسلم
            Larangan menulis hadits tersebut adalah supaya ayat-ayat Al-Qur'an jangan bercampur dengan yang bukan  Al-Qur'an. Juga Rasulullah saw. menyuruh sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Abdullah Ibnu Amr bin Ash salah seorang sahabat yang rajin menulis hadits. Sahabat lain ada yang menegur Abullah Ibnu Amr Ibnu Ash, Kamu telah menulis semua yang kamu dengar dari Nabi. Padahal beliau itu sebagai manusia biasa, tentunya berbicara dalam keadaan suka dan terkadang dalam keadaan duka. Mendengar teguran ini, Abdullah Ibnu Amr Ibnu Ash  mengadukkannya kepada Nabi dan bertanya, apakah boleh menulis hadits-hadistnya. Nabi saw. menjawab
أكْتُبْ فوالّذى نفسى بيده لايخرج منه إلاّ حقّ. رواه ابوداود.
Rasuullah saw. pernah menyuruh menuliskan surat kepada petugas-petugasnya di daerah-daerah, yang isinya tentang kadar-kadar zakat unta dan kambing.
Pada tahun "Fahul Makkah", seorang bernama Huzail, dari golongan Khuza'ah, telah membunuh seorang laki-laki dari Bani Laits. Pembunuhan ini terjadi, disebabkan, dahulu Bani Laits telah pernah membunuh orang dari Bani Khuza'ah. Kejadian pembunuhan yang dilakukan Huzail terhadap Bani Laits tersebut, dilaporkan kepada Nabi. Kemudian Nabi mengendarai kendaraannya dan berkhutbah, yang menjelaskan bahwa di Kota Mekkah dilarang diadakan pembunuhan. Bahwa kota Mekkah, adalah tanah Haram, yang tidak diperkenankan dipotong durinya, tidak boleh dipotonng pohon-pohonannya. Mendengar khutbah Nabi ini, kemudian datang menghadap kepada Nabi, seorang laki-laki dari Yaman, bernama Abu Syah, yakni : Umar Ibnu Saad Al-Ammary, dan berkata kepada Nabi : Ya Rasulullah tuliskanlah untukku.
 أكتبوا لأ بى شاة. رواه البخاري
Tentang perintah untuk menulis Hadits Nabi, menurut Abu Abdur-Rahman bahwa tidak ada satupun riwayat/Hadits yang lebih Shah selain dari Hadits yang berhubungan dengan Abu Syah ini. Sebab dalam hadits tersebut, Rasulullah telah dengan tegas memerintahkannya.
Hadits tersebut di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah telah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menulis hadits-haditsya. Sebagai alasan logis perintah menulis Hadits ini, ialah bahwa :
a. diantara para sahabat, ada yang telah pandai menulis
b. Diantara para sahabat, ada yang kurang kuat hafalannya
c. Untuk memberi petunjuk yang lebih jelas dan orsinil kepada para petugas Rasul di daerah-daerah, diperlukan adanya dokumen tertulis.
            Hadits-hadits di atas, nampak bertentanagan yakni, disatu pihak, menulis hadits dilarang dan dilain pihak, menulis hadits-diperintahkan. Para ulama, dalam menghadapi Hadits-hadits yang nampak bertentangan ini, telah mengadakan pentahkikan. Yakni, mengkompromikan atau menyelesaikan dengan mempertemukan kedua macam hadits yang nampak bertentangan itu, sehingga tidak menimbulkan kemusykilan untuk memahaminya.
            Bahwa larangan menulis Hadits itu, telah dimansukhkan oleh hadits yang memerintah menulis hadits. Jadi, isi larangan, telah dicabut dan tidak berlaku lagi. Bahwa larangan itu bersifat umum, sedang untuk beberapa shabat secara khusus diizinkan.
Bahwa larangan menulis hadits, ditunjukan kepada mereka yang dikhawatirkan mencampuradukkan dengan Al-Qur'an, sedang keizinan menulis, ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mempercampuradukan dengan Al-Qur'an.
Bahwa larangan itu, dimaksudkan yang berupa kodifikasi formal dalam bentuk seperti mushhaf Al-Qur'an, sedang bila sekedar berupa catatan- catatan untuk dipakai sendiri, tidak dilarang.
Bahwa larangan itu, berlaku pada saat wahyu-wahyu yang turun, belum hafal dan dicatat oleh para sahabat, sedang setelah waktu wahyu-wahyu yang turun telah dihafal dan dicatat, menulis Hadits diizinkan.
Dengan demikian pendapat Ulama yang dapat dihimpun, dalam usaha mengkompromikan dua macam hadits yang nampak bertentangan tersebut. Pada zaman Rasulullah, ternyata tidak sedikit diantara sahabat, yang secara pribadi telah berusaha mencatat hadits-hadits Rasul. Shahifah, yang berisi catatan hadits-hadits Rasul itu, dibuat dipelepah-pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan.
            Menurut penilitian Dr. Muhammad Musthafa Al-A'zhamy, bahwa para sahabat yang memiliki Shahifah/catatan Hadits, ada sekitar 50 orang. Antara lain adalah :
1. Abdullah Ibnu Amr Ibnu 'Ash As-shahifah as-shadiqah
Ibnul Atsir berkata : Dalam shahifahnya ini, ada hadits-hadits rasul sebanyak lebih dari 1000 hadits Hadits-hadits yang termuat dalam shaifah ini ini, sampai sekarang masih dapat kita baca, melalui Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
2. Jabir bin Abdullah Al-Anshary Shahifahnya, dikenal dengan Nama "Shahifat Jabir".Imam Muslim, dalam kitab Shahifahnya telah mamuat juga Hadits-hadits yang berasal dari Shahifat Jabir ini, yang berhubungan dengan manasik Haji.
3. Abdullah bin Abu Aufa Shahifahnya, dikenal dengan Nama Shahifah Abdullah bin Abi Aufa .Orang-orang, banyak membaca Shahifah ini,
4. Samurah bin Jundab Shahifah yang ditulis oleh Smurah ini, diwarisi oleh anaknya yang bernama Sulaiman.
5, Ali Bin Abi Thalib Shahifahnya, berisi tentang Hadits-hadits Rasulullah yang berhubungan dengan hukum diyat (denda).
6. Abdullah Ibnu Abbas Ibnu Abbas, dalam menjelaskan Hadits-hadits Nabi, banyak menggunakan tulisan-tulisan Al-Wah yang dibawanya ke tempat-tempat pengajaran.
7. Abu Bakar Ash-Shidiq Menurut kitab Thalaqatul Huffadz, yang juga dinukil oleh Dr. Shubby Shalih dalam kitabnya Ulumul Hadits menjelaskan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pada mulanya juga memiliki Shahifah yang memuat sebanyak 500 Hadits. Tetapi, oleh karena sifat wara beliau yang khawatir orang-orang yang akan menjadi lengah terhadap pemeliharaan Al-Qur'an, maka Shahifah itu dmusnahkan [2].

C. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
            Umar bin Abdul Aziz  adalah cicit Sahabat Umar Ibn Khttab yang dinobatkan pada tahun 99 H. seorang Khalifah dari dinasti Amawiyyah yang terkenal adil dan wara', sehingga beliau dipandang Khalifah Rasyidin kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan Hadits. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadits dalam dadanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku (dewan-dewan) hadits dari para perawinya, mungkinlah hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi diwaba bersama para penghafalnya kea lam barzakh.
            Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amr Ibnu Hazm (120 H) yang menjadi guru Ma'mar, Al-Laits, Al-Auza'y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi'bin supaaya membukukan Hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal yaitu : Amrah binti Abdir Rahman ibnu Sa'ad Ibnu Zurarah ibnu Ades, seorang ahli fiqih, murid Ahli Fiqih, murid 'Aisyah ra. (20 H - 642 M – 98 H = 716 H -724 H), dan Hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim ibnu Muhammad Ibnu Abu Bakar Ash-Shiddiq. (107 H) seorang pemuka tabi'y dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh. Umar Ibnu Abdul Aziz menulis kepada Abu Bajar Ibnu Hazm, bunyinya :
أنظروا ما كان من حديث رسول الله ص. فاكـتبوه فاتّى خفت دروس العلم وذَهاب العلماء ولا تَـقبل إلاّ حديثَ الرّسول ص. ولِتَفشوا العلم ولتَجلسوا حتىّ يعلم من لا يعلم فإنّ العلم لايهلك حتّى يكون سترا[3]
Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul, Lalu tulislah : karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain dari hadits Rasulullah saw. Dan hendaklah anda tebrkan ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya : lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.
            Disamping itu Umar mengirimkan surat-suratnya  kepada Gubernur ke  wilayah yang dibawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada para ulama yang diam diwilayah mereka masing-masing. Diantara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan Khalifah itu, ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-zuhry, seorang tabi'y yang ahli dalam urusan dalam urusan fiqih dan hadits.
            Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat, bahwa Rasulullah dan Khulafa'ur Rasyidin tidak mumbukukan hadits Rasul, diantara sebabnya yang terpenting adalah karena dikhawatirkan akan terjadi bercampur aduknya Al-Qur'an dengan yang bukan Al-Qur'an, sedang pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, Al-Qur'an telah selesai dikodifisir secara resmi dan lestari. Dengan demikian, maka bila Hadits-hadits Rasul didewankan/dikodifisikan, tidaklah akan mengganggu kemurian Al-Qur'an.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pada penghujung tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menulis surat instruksi kepada para Gubernurnya dan juga kepada ulama untuk mendewankan/membukukan Hadits.
Dengan demikian, maka latar belakang dan motif Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan instruksi untuk menulis/mendewankan Hadits itu ialah :
1. Al-qur'an telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadits.
2. Telah makin banyak para perawi/penghafal Hadits yang meninggal dunia. Bila dibiarkan terus, maka hadits akan terancam punah oleh itu, perlu segera dibukukan.
3. Daerah Islam semakin meluas. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ummat Islam semakin bertambah banyak dan kompleks. Ini berarti memerlukan petunjuk-petunjuk dari hadits-hadits Rasul disamping petunjuk al-Qqur'an
4. Pemalsuan-pemalsuan hadits semakin menghebat. Kalau hal ini dibiarkan terus, tentu terancam kelestarian ajaran Islam yang benar. Maka langkah segera yang perlu diambil ialah membukukan hadits dan sekaligus menyelamatkannya dari pemalsuan- pemalsuannya.
D. Pelopor kodifikasi hadits
            Diantara Gubernur yang menerima instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz unutk mendewankan hadits itu adalah gubernur Madinah yang bernama : abu baker Muhammad Ibnu Amr Ibnu Hazm. Atau Muhammad Ibnu Hazm.
Muhammad Ibnu Hazm, selain sebagai Gubernur, juga sebagai seorang ulama.Instruksi Khalifah berisi, supaya Gubernur segera membukukan hadits-hadits yang dihafal oleh penghafal-penghafal hadits di Madinah antara lain :
1. Amrah binti Abdir Rahman Ibnu Saad Zurarah Ibnu Ades, seorang ahli Fiqih, murid Aisyah ra.
2. Al-Qaim Ibnu Muhammad Abu baker As-Shidiq, salah seorang pemuka tabi'in dan salah seorang Fuqaha tujuh[4]
Muhammad Ibnu Hazm, melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya, instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga telah dilaksanakan dengan sebaik-bainya oleh salah seorang Ulama Hadits, yang masyhur sebagai ulama besar di Hijaz dan Syam, bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Abu Muslim Ibnu Ubaidillah Ibnu Syihab Az-Zuhry, yang dikenal juga dengan nama Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.
            Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry, setelah berhasil mendewankan hadits-hadits Rasulullah, lalu mengirimkan dewan-dewan haditsnya itu kepada penguasa-penguasa daerah.
            Dengan demikian, maka pelopor pandewan (kodifikator) hadits yang pertama atas intruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah :
1. Muhammad Ibnu Hazm (wafat tahun 117 H)
2. Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry (wafat pada tahun 124 H).
Tentang kedua tokoh pemula pandewan hadits ini, para ahli sejarah dan ulama berpendapat, bahwa yang lebih tepat disebut sebagai Kodifikator/padewan Hadits yang pertama, ialah Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.
Alasannnya ialah, bahwa Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry mempunyai beberapa kelebihan dalam mendewankan Hadits-hadits Nabi, bila dibandingkan dengan Muhammad Ibnu Hazm
Diantara kelebihan Az-Zuhry, ia dikenal ulama besar dibidang Hadits, dibandingkan dengan Ulama-ulama Hadits sezamannya. Dia mendewankan seluruh Hadits yang ada di Madinah, sedang yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Hazm, tidak mencakup seluruh hadits yang ada di Madinah. Dia mengirimkan hasil pendewanannya kepada seluruh penguasa di daerah, masing-masing satu rangkap; sehingga dengan demikian, lebih cepat tersebar.
Sayang sekali, bahwa kedua macam dewan hadits tersebut, baik yang disusun oleh Muhammad Ibnu Hazm maupun oleh Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry, telah lama hilang dan sampai sekarang  tidak diketahui dimana berada. Selanjutnya, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry berlalu, maka muncullah pendewanan berikutnya (sebagai masa pendewanan yang kedua), atas anjuran Khalifah-khalifah Abbasiyyah, diantaranya Khalifah Abu Abbas As-Saffah.
Ulama-ulama yang terkenal berhasil mendewankan hadits-hadits, setelah masa Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry adalah :
Di Mekkah      : Ibnu Juraij (80-150 H)
Di Madinah     : 1. Ibnu Ishaq (wafat 151 H)
                           2. Malik bin Anas (93 H-179 H)
Di Bashrah      : 1. Ar-Rabi' Ibnu Shabih (wafat 160 H)
                           2. Sa'id Ibnu Abi Arubah (wafat 156 H).
  3. Hammad Ibnu Salamah (176 H).
Di Kufah         : Sufyan Ats-Tsury (wafat 161 H).
Di Syam          : Al-Auza'iy (wafat 156 H).
Di Wasith        : Al-Husyain Al-Wasithy (wafat 188 H/ 804 M).
Di Yaman        : Ma'mar Al-Azdy (95-153 H/753-770 M)
Di Rei             : Jarir Adl-Dlabby (110-181 H/7354-797 M).
Di Khurasan    : Ibnu Mubarak (118-181 H/735-797 M).
Di Mesir          : Al-Laits Ibnu Sa'ad (wafat 175 H).
Para Ulama di atas masa hidupnya hampir bersamaan. Karenanya itu sulit ditentukan siapa yang lebih tepat untuk disebut sebagai pendewan/kodifikator hadits yang pertama. Selain itu mereka bersama, telah berguru kepada Muhammad Ibnu Hazm dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry.
            Diantara kitab-kitab/dewan hadits yang disusun pada abad II Hijry, periode IV ini, yang sanagat mendapat perhatian dari kalangan ulama, ialah :
1. Al-Muwattha', disusun Imam Malik bin Anas, atas permintaan Khalifah Abu Ja'far Al-Mansyur.
2. Musnad Ay-Syafi'i, disusun Imam Syafi'i. dewan hadits ini, merupakan kumpulan hadits-hadits yang terdapat dalam kitabnya Al-Um
3. Mukhtalaful hadits, disusun oleh Imam Syafi'i. Di dalamnya, dibahas tentang cara-cara menerima hadits sebagai hujjah dan cara-cara mengkompromikan hadits yang nampak kontradiksi satu sama lain.
E. Masa pembukuan, pengumpulan hadits dan dasar pentashhihannya
Untuk mentashhihkan hadits dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang tarikh Rijalil Hadits, tanggal lahir dan wafat para perawi, agar dapat dekutahui : "apakah dia bertemu dengan orang yang diriwayatkan hadits daripadanya, ataukah tidak".
            Sebagaimana dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang perawi-perawi hadits sejak zaman shahaby hingga zaman Al-Bukhari (umpamanya), bagaimana nilai kebenaran dan kepercayaan perawi-perawi itu, nilai-nilai hafalan mereka, siapa yang benar dapat dipercayai, siapa yang tertutup keadaannya, siapa yang dusta, siapa yang lalai.
            Dan dibutuhkan pula perbandingan antara hadits satu kota dan hadits kota lain, sebagaimana dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang mazhab yang dianut perawi-perawi itu, apakah dia Khawarij, Mu'tazilah, Murji y, Syi'ah, dan lain-lain.
Al-Bukhari mempunyai dua keistimewaan
1.hafalan yang sungguh kuat yang jarang kita temukan bandingannya, teristimewa dalambidang hadits
2.keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang nampak kita lihat dalam kitab tarikhnya yang disusun untuk menerangkan keadaan-keadaan perawi hadits.
Dan Al-Bukhari dalam menghadapi perawi-erawi yang lemah dan tercela, mempergunakan kata-kata yang sopan sekali.
Al-Bukhari dalam mengumpulkan hadits-hadits shahih kedalam buku jami'nya, memakai beberapa syarat, begitu pula Muslim mempergunakan beberapa syarat. Kadang-kadang syarat-syarat Muslim itu berbeda dengan syarat Al-Bukhari.
Kedua-dua beliau ini mensyaratkan :
1.Sanad yang muttasil
2.Perawi yang Muslim, yang bersifat benar, tak suka bertadlis dan tidak berubah akal, adil, kuat hafalan, tidaak ragu-ragu dan baik pula iktikadnya.
Perawi-perawi yang menerima hadits dari tokoh-tokoh hadits, seperti Az-Zuhry, ada yang tidak. Maka menurut lazimnya, Al-Bukhary mensyaratkan perawi-perawi yang rapat perhubungannya. Muslim menerima hadits dari tokoh-tokoh yang yang tak rapat perhubungannya, sama dengan menerima Perawi-perawi yang erat perhubungannya.
Mengenai orang-orang yang bukan tokoh, maka Al-Bukhary maupun Muslim menerima riwayatnya asal saja Perawi itu kepercayaan, adil, tidak banyak khilaf dan keliru.
Al-'Allamah Muhammad Zahid Al-Kaustary berkata : diantara yang menarik perhatian : Al-Bukhary dan Muslim tidak menceritakan sedikitpun dari hadits Imam Abu Hanifah, padahal Al-Bukhary/Muslim itu mendapati sahabat-sahabat kecil dari Abu Hanifah dan menerima Hadits dari mereka. Juga Al-Bukhary/Muslim tidak mentakhrijkan hadits Imam Syafi'I padahal beliau-beliau itu menjumpai sebagian mashhabnya. Juga Al-Bukhary tidak mentakhrijkan hadits-hadits Ahmad kecuali dari dua hadits, satu secara ta'liq, satu lagi secara Nazil dengan pertantaraan, padahal Al-Bukharymendapati Ahmad dan menkaziminya. Muslim tidak mentakhrijkan dalam shahihnya barang suatu hadits dari hadits Al-Bukhary, pada hal Muslim menlaziminya dan menuruti jejaknya. Dan tidak meriwayatkan dari hadits Ahmad selain dari 30 hadits. Ahmad tidak mentakhrijkan dalam musnadnya dari Malik dari Nafi' memalui jalan Ay-Syafi'I padahal sanad ini dipandang paling shah, selain dari 4 hadits.
Hadits yang diriwayatkan oleh Syafi'I dengan jalan yang lain tidak sampai 20 hadits, padaahal Ahmad duduk semajlis dengan Asy-Syafi'iy dan mendengar Al-Muwaththa' dari padanya.
Menurut kenyataan, para Imam Hadits membukukan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dikhawatiri akan lenyap hadits-haditsnya lantaran kurang diperhatikan.
Dan bukan sekali-kali karena Abu Hanifah oleh Sufyan, atau AsySyafi'I dicacat oleh Ibnu Ma'in, atau Imam Ahmad dicacat oleh Al-Karabaisy atau Al-Bukhary dicacat oleh Al-Bahary.
Ucapan Ibnu Khaldun dalam muqaddamah syarat-syarat sah, hanya menshahihkan (meriwayatkan) 17 buah hadits, adalah suatu kekeliruan yang sanagat nyata, maka tidak bolek kita tertipu dengan perkataan itu.
Riwayat Abu Hanifah yang mutasyadid dalam menshahihkan hadits, 17 kitab, yang masing-masing dinamai musnad Abu Hanifah yang telah ditakhrijkan oleh para huffadh, masing-masing musnad itu tidak lebih kecil dari pada musnad Asy-Syafi'i. Kitab-kitab hadits musnad Abu Hanifah tersebut sangat jarang di perpustakan tanah air.
            Imam Malik menyaksikan beberapa pemberontakan dan kezhaliman yang dilakukan oleh para pemimpin politik. Ia tidak berpihak kepada pemberontak karena menurutnya, keadaan tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan dan ia tidak berpihak kepada pemerintah karena pemerintah sendiri banyak melakukan penindasan, seperti penindasan terhadap keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib.
            Imam Malik berkata : Apabila seorang kepala Negara berlaku adil, dan masyarakat senang manerimanya, maka kita tidak boleh memberontak terhadapnya, dan jika ia tidak berlaku adil, rakyat harus bersabar dan memperbaiki orang yang menjadi kepala Negara, tapi apabila ada yang memberontak karena ketidak adilan, maka tidak boleh membantu pemerintah dalam menindas pemberontakan tersebut[5].
Imam Malik menulis kitab  al-Muwatha. Kitab ini merupakan kitab hadits dan hukum Islam yang outentik, pertama dan paling tua yang sampai kepada kita. Khalifah Harun Al-Rasyid memepelajari kitab hadits ini.
            Imam Malik yang wafat pada tahun 179 H tentu saja sezaman dan bertemu  dengan Imam Sayfi’i (150 – 204)  yang menulis tiga karya besar dalam empat bidang ilmu, Al-Umm dalam bidang hadits dan fikih, Ar-Risalah dalam bidang ushul fikih Fiqh Al-Akbar dalam bidang ilmu kalam. Imam Syafi’i sezaman dan bertemu dengan Imam Ahmad Ibn Hanbal (146-241 H). Imam Syafi’i lahir pada hari wafat Imam Hanafi. Pada usia 7 tahun Imam Syaf’i’i telah hapal Al-Quran dan pada bulan Ramadlan ia bisa menghatamkan Al-Quran sebanyak enam puluh kali dan pada usia sepuluh tahun telah hapal kitab Al-Muwaththa Imam Malik. Ketika terjadi fitnah, ia masuk ketempat ke ruang  penyiksaan, maka ia terlebih dahulu mengucapkan salam, sehingga ia selamat dari penyiksaan dan pembunuhan.
F. Khalifah, Imam Ahmad dan kitab-kitab hadits
            Khalifah Al-Makmun (827 M) menjadikan madzhab Muktazilah sebagai madzhab resmi Bani Abbas[6]. Madzhab ini berpendirian bahwa Al-Quran adalah makhluk. Khalifah Al-Makmun wafat sebelum menghukum Imam Ahmad yang berpendirian bahwa Al-Quran bukan makhluk. Pada zaman Khalifah Al-Muktasim (833-842) Imam Ahmad yang teguh pendirian itu dihukum dera dan dimasukan ke dalam penjara. Tapi Al-Muktasim dan Al-Watsiq (842-847 M) tidak memberi hukuman mati kepada Imam Ahmad ibn Hanbal.  
            Al-Mutawakkil naik tahta setelah saudaranya Al-Waatsiq,  pada tahun 232 H  /847 M. Ia sangat anti  Syi’ah dan Mu’tazilah. Pada tahun 850 M. ia menginstruksikan kepada bawahannya untuk menghacurkan makam Husein Ibn Ali di Karbala. Pada tahun 848 M. ia menghapuskan Mu’tazilah sebagai madhzab resmi Negara dan membebaskan Imam Ahmad ibn hanbal dari penjara, bahkan Khalifah berpihak kepadanya.
Khalifah Al-Mutawikil menghapus Al-Mihnat dan menolong ahli hadits[7]. Dinasti Abbasiyyah di balik kemunduran dan kehancurannya itu ternyata  ada kelebihannya yakni tersusun kitab-kitab hadits. Khalifah Al-Mutawakkil berpihak kepada ulama ahli hadits yang dipelopori oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal. Imam Ahmad Ibn Hanbal menyusun sebuah kitab hadits yang bernanam Musnad Ahmad. Sebelum kitab Ahmad Ibn Hanbal, telah ada dua kitab hadits yang bernama Al-Maghazi karya Al-Waqidi dan At-Thabaqat  Al-Kabir karya Ibn Sa’id.
            Ahmad Ibn Hanbal memiliki beberapa murid yang mempelajari dan menekuni hadits, di antara mereka yang berbakat adalah Imam Bukhari. Ia memiliki kemampuan yang luar biasa  dalam membedakan hadits melalui klarifikasi setelah mengumpulkan hadits dari berbagai ulama dan berbagai daerah selama 16 tahun. Karya Bukhari yang terbesar dengan nama kitab yang panjang yakni, Al-Jaami’u Al-Musnadu  Al-Shahihu Al-Mukhtasharu fii umuuri Rasulillah saw. wa sunanihi wa ayyaamih [8]. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari yang memuat sebanyak 600.000 (enam ratus ribu) buah hadits dari rawi sebanyak 1080 (seribu delapan puluh) ahli hadits [9]. 
            Ulama bidang hadits yang sezaman dan saling berkomunikasi dengan imam Bukhari adalah Imam Muslim, ia adalah Muslim ibn Al-Hajaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, lahir dan wafatnya di Naisabur. Imam Muslim berhasil menyusun kitab hadits dengan judul shahih Muslim. Isi kitab hadits shahih Muslim tanpa berulang-ulang sebanyak empat ribu hadits dan yang berulang-ulang sebangak 7275 hadits [10].
Setelah dua kitab hadits shahih ini berhasil disusun, maka munculah kitab-kitab Sunan yang disusun oleh sejumlah ulama. Kitab-kitab tersebut adalah Sunan karya Abu Dawud Sijistani, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibn Majah Oleh karena itu  pada waktu itu telah tersusun kitab hadits yang bernama kutubus sab’ah. Kitab-kitab ini sampai sekarang bahkan mungkin sampai dengan akhir zaman menjadi rujukan yang mendunia.
Pada masa dinasti Abbasiyah waktu kemunduran dan kehancurannya  tahun  – 656 H./850 – 1194 M. banyak menghasilkan kitab-kitab hadits, mulai dari kitab hadits Musnad Ahmad Ibn Hanbal (146-241 H) sampai dengan kitab hadits Al-Targhib wat Tarhib karya Al-Mundziri (656 H). Achmad Usman di dalam bukunya  Riwayat hidup perawi hadits, ia memaparkan riwayat beberapa tokoh rawi-rawi hadits.
 Di bawah ini kitab-kitab Hadits, penyusun kitab, tahun lahir dan wafat para penulis kitab-kitab hadits [11].  

No.
Kitab
         Penyusun
Lahir – Wafat
1
At-Thabaqat al-Kabir
       Ibn Sa’id
          - 230 H
2
Musnad Ahmad
       Ahmad Ibn Hanbal
       146-241 H
3
       Al-Jami’us shahih
        Bukhari
      194-261  H
4
       Shahih Muslim
        Muslim
      204-261  H
5
       Sunan Abu Dawud
        Abu Dawud
       202-275  H
6
Sunan  Tirmidzi
       Tirmidzi
      204- 279 H
7
       Sunan Ibn Majah                   
        Ibn Majah
       209-283 H
8
       Sunan Nasa’i            
        Nasai    
       216-303 H

Dari kitab-kitab tersebut di atas kemudian para ahli hadits mengumpulkan  hadits-hadits shahih di dalam kitab-kitab di bawah ini :             
 1.   Ash-Shahih,  karya Ibn Khuzaimah
2.   At-Taqsim wal anwa’,  karya Ibn Hibban
3.   Al-Mustadrak,  karya Al-Hakim
4.      AsShahih, karya Abu ‘Awanah
5.      Al-Muntaqa, karya ibnu Jarud.
6.      Mukhtarah,  karya Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy
Enam kitab tersebut di atas tidak disebut kutubus sittah dan di dalam kitab kitab yang enam ini, ada hadits-hadits shahih yang tidak terdapat didalam kitab- kutubus sittah yang disusun oleh ahli hadits pada abad ketiga.
            Hadits yang dishahihkan oleh Ibn Hibban dan Al-Hakim, tidak bisa diterima langsung, karena beliau ini dipengaruhi oleh sifat mutasahil  dalam menshahihkan hadits. Kata setengah Ulama : Hadits-hadits hanya ditashihkan Al-Hakim sendiri, hendaklah diperiksa lebih dahulu ; jangan terus dipergunakan. Sesudah diperiksa, barulah diberikan Hukum shahih atau hasan, menurut keputusan penyelidikan yang sehat dan jujur serta hati-hati[12].
       Kitab Al-Jami’ Bainash-Shalihaini, oleh Isma’il Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnul Furat, oleh Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H) ; oleh Al-Baghawi, oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H). Diantara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits kitab enam, ialah : Al-Jami’, oleh Abdul Haq Ibn Abdu Rahman Al-Asybili yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
            Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits dari berbagai kitab adalah :
1. Mashabihus - Sunnah, oleh Al-Imam Husain Ibn Mas’ud Al-Baghei (516H). Di dalamnya terdapat sejumlah 4484 buah hadits                                                                                                                                                                
2. Jami’ul Masanid wal Aqlab, oleh Abdur Rahman Ibn Ali Al-Jauzi (597 H).
3. Bahrul Asaid, oleh Al-Hafidz Al-hasan Ahmad As-Samaqan (491H) didalamnya terdapat 100.000 buah hadits.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan kitab-kitab hadits hukum dan targib Wat tarhib  adalah :
1. Al-Muntaqal Akhbar, oleh Majdussin ibn Taimiyah Al-Harrani (652 H),
2. As-Sunnatul Kubra oleh Baihaqi (458 H)
3. Al-Ahkamus Sughra, Abu Muhammad Abduh Haq Al-Asybili  (528 H)
4. Umdatul Ahkam, oleh Abdul Ghani Al-Maqdisi (600 H)
5. Al-Targhib wal Tarhib oleh Al-Mundziri (656 H) (tentang targieb dan tarhieb) [13].
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata Dinasti Abbasiyyah dibalik kemunduran dan kehancurannya itu ada kelebihannya yakni tersusun kitab yang tujuh dan Ibn Hajar Al-’Asqalani menyebutnya dengan istilah riwayat sab’ah, sittah, khamsah, arba’ah, tsalatsah dan muttafaq ‘alaih [14]. Juga tersusun kitab-kitab hadits shahih, mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab, menyusun kitab hadits hukum dan hadits tentang targib wat tarhieb. Dalam bidang ilmu kalam Imam Al-Asy’ari menyusun  sebanyak tiga buah kitab yakni, Al-Ibanat ‘an ushuli diyanat, Maqaalat al-islamiyyah dan Al-luma fir rad ‘ala ahli ziyag wal bida’.

G. Penutup
Masa penulisan dan tadwin hadits di bagi kepada tiga pase yakni pada masa pertama pentadwinan hadits mulai pada pemerintahan  Amawiyah angkatan kedua (mulai Khalifah Umar bin Abdul Aziz)  (100-175) bercorak campuram hadits nabi, qaul sahabat dan tabiin, sistim tasnif seperti kitab Al-Muwattho Imam Malik. Pase kedua (175-200 H) bercorak pemisahan hadits Nabi dan qaul sahabat tabiin, tapi masih bercampur hadits shahih, hasan dan dlaif sistim tasnif seperti musnad Ahmad ibn Hanbal, dan pada masa ketiga pase seleksi rawi sanad dan matan (200-300) bercorak pemilahan hadits shahih, hasan dan dlaif dan sistimnya tasnif seperti kutubus sittah.
            Masa Abbasiyyah kemundaran dan kehancurannya itu adalah dari segi politik dan pemerintahannya, tapi ternyata dari segi hadits sangat maju dan pesat, muhaditsin  tidak banyak terpengaruh oleh keadaan politik pada waktu itu. Pada fase ini lahir sejumlah muhaditsin dan fuqoha ternama, termasuk didalamnya madzahibul arba’ah  mereka menulis berbagai kitab hadits dan fiqh, Kitab-kitab tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia, abadi sepanjang masa, baik di kalangan muslim atau non muslim.
Menurut Hasby As-Shiddiqi, pada masa khalifah Al-Mu’tasim awal abad IV sampai dengan tahun 656 H., para ahli hadits menyebutnya dengan istilah ‘Asrut tahdziib wat-tartiib walistidraak waljam’i. Masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan [15]. Tapi menurut catatan sejarah Al-Mu’tasim itu seorang khalifah yang memberi hukuman dera dan menjebloskan Imam Ahmad ke penjara. Baru pada masa Al-Mutawakkil naik tahta pada tahun 232 H. ia  paling berjasa membebaskan Imam Ahmad dari penjara, bahkan Khalifah berpihak kepada Imam Ahmad ibn Hanbal sehingga tersusun berbagai kitab hadits.
























Daftar Pustaka

Abu Zahwu, Al-Haditsu wal muhadditsun, Daarul kitab, Bairut, 1984.
Ahmad Hasan Al-Banna,.  Al-Fath Al-Rabany, Daru Ihya al-Taraqi,Mesir. t.th.

Ahmad Amin, Islam dari masa kemasa. Rosdakarya, Bandung, 1993.

Ahmad Usman, Riwayat hidup beberapa tokoh perawi hadits, PT Bina Ilmu, Surabaya 1982.

Dedi Supriyadi, Sejarah peradaban Islam. Pustaka setia, Bandung, 2008.
Hasbi As-Siddiqi, Prof. DR. Pengantar ilmu Hadits. Bulan Bintang, Jakarta, 1988.

Endang Saoetari Ad,  Prof. DR. Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1994.

Ibn Hajar, Taqriib Al-Tahdzib. Daru Nasyr Al-Kutub Al-Islamiyyah, Pakistan, 1983.

_______________, Bulughul Maram. Dahlan, Bandung , 1987.

Jaih Mubarak, Prof.DR. Sejarah Peradaban Islam. Bandung, 2003.
M. Syuhudi Ismail, Prof. DR. Sejarah pengantar Ilmu Hadits. Angkasa, Bandung, 1987.
M. ‘Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah qablat tadwin, Darul fikr, Damasykus, 1963.



[1] Hasbi As-Siddiqi, Prof. DR. Pengantar ilmu Hadits. Bulan Bintang, Jakarta, 1988 hal. 78.

[3] M. ‘Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah qablat tadwin, Darul fikr, Damasykus, 1963 hal.320.

[4]Yang dimaksud dengan Fuqaha tujuh ialah 1. Al-Qashim; 2. Urwah bin Zubair; 3. Abu baker Ibnu Abdir Rahman; 4. Said Ibnu Musayyab; 5. Aabdillah Ibnu Abdullah Ibnu Utbah Ibnu Mas'ud; 6. Kharijah Ibnu Zaid Ibnu Tsabit; dan 7. Sulaiman Yassar.

[5]Jaih Mubarak, Prof. DR. Sejarah Peradaban slam.  Bandung, 2003,  hal. 150.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam. Jakarta, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 61.
[7] Abu Zahwu, Al-Hadtsu wal muhadditsun, Daarukitab, Bairut, 1984, hal. 321.Al-Mihnat adalah ujian terhadap hakim dan ulama tentang mihnatul qaul bi khalqil Quran.
[8] Achmad Usman, Riwayat hidup perawi hadits. Bina ilmu, Surabaya, 1982, hal. 66. lihat pula kitab Al-Hadtsu wal muhadditsun,  hal. 316.
[9] Abdai Rathomy, Shahih Bukhari. 1979, Al-Asriyah, Surabaya, hal.5..
[10] Achmad Usman, Riwayat hidup perawi hadits…  hal.71.
[11] Abdai Rathomy,  Riwayat Bukhari …  hal.67.
[12] Hasbi As-Siddieqi, Prof. DR.  Sejarah Ilmu Hadits. Bulan bintang,  1954 hal.116.
[13] Ibid hal.17.
[14] Ibn Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram. Dahlan, 1987, Bandung, hal.37. Yang dimaksud dengan Muttafaq ‘alaih adalah riwayat Bukhari dan Muslim. Riwayat tujuh; Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibn Majah. Riwayat enam atau kutuibus sittah; Bukhari Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibn Majah, termasuk di dalamnya riwayat lima, empat dan tiga.  
[15] Hasbi As-Siddiqi, Prof. DR. Pengantar ilmu Hadits. Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hal. 114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar