Kamis, 07 Juli 2011

Latar belakang Sejarah PERSIS


A.    Latar Belakang Sejarah
Menurut tafsir Qanun asasi (1967: 7) bahwa sesungguhnya jauh sebelum tanggal 12 September 1923 (berdirinya PERSIS) telah ada suatu kelompok kajian ajaran Islam dan ajaran yang berlaku secara faktual. Mereka menamakan kelompok penelaahnya itu dengan nama Persatuan Islam, ada juga yang memberi nama Permufakatan Islam. Jadi sebelum Tahun 1923 nama Persatuan Islam itu bukan nama sebuah organisasi melainkan nama kelompok penelaah (study club) dan inilah sebagai cikal bakal atau embrio Lembaga Dewan Hisbah.
Tokoh-tokoh utama study club tersebut adalah KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus, mereka mengadakan kenduri secara rutin bergiliran secara rutin di rumah-rumah anggota jamaahnya, setelah mereka makan, kemudian sebagaimana biasa diadakan pembahasan berbagai masalah agama, sampai kepada masalah aktual persoalan umat Islam pada waktu itu, seperti polemik antara al-irsyad dengan jamiat khair dan perpecahan Syarikat Islam (SI) antara mereka yang mendukung Komunisme dengan yang tetap konsisten dengan keislamannya.
Majalah terkenal yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridlo yakni Al-Manar di Mesir dan Al-Munir dari Padang senantiasa mendapat tempat dalam pengajian KH. Zamzam dan KH. M. Junus. Muhammad Abduh menulis dalam majalahnya tentang al-islamu mahjuubun bil muslimin, Islam ditutup oleh orang Islam itu sendiri. Tulisan tersebut menyentuh dan mewarnai cara berfikir dan cara hidup mereka, mereka sadar bahwa pada waktu itu kaum muslimin banyak melakukan praktek-praktek penyimpangan baik aqidah, Ibadah, maupun muamalah, perpecahan umat Islam dan kecenderungan Belanda melarang serta membatasi pendidikan, dakwah dan penerbitan buku yang akhirnya pemurtadan.
Persatuan Islam terbentuk dengan dimulai oleh suatu kelompok penelaah (study club) di Bandung yang anggota-anggotanya dengan kecintaan menelaah, mengaji serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya, sedangkan pada saat itu keberadaan kaum muslimin di Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, bid’ah, dan syirik, sebagaimana terdapat dalam dunia Islam lainnya yang diperkuat oleh cengkraman kuku penjajahan kaum Nashrani Belanda melalui penasehatnya, orientalis yang ulung dalam menggariskan politik keagamaan di tanah air.
Para anggota kelompok itu semakin lama mengaji dan menguji ajaran agamanya, semakin tahu hakikat Islam yang sesungguhnya, dan merekapun menjadi sadar akan keterbelakangan, kejumudan, pintu ijtihad tertutup bagi umat Islam, merasa cukup dengan taqlid buta. Akhinya makin sadar pula akan kewajiban untuk mengadakan tajdid dan pemurnian agama Islam yang dilaksanakan dalam masyarakat, kemudian mereka masing-masing mengajarkan apa yang telah diketahuinya di kampung halamannya, sehingga dengan demikian secara tidak resmi maupun secara resmi, maka telah berdiri dan terbentuk pula kelompok-kelompok penelaah, bukan hanya yang ada di Bandung, juga di berbagai tempat di Indonesia.
Dalam keadaan demikian Persatuan Islam telah terbentuk dengan hubungan horizontal (mendatar) tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau suatu nidzam jami’yyah yang pasti, oleh karena itu, agar perjuangan serta jihad yang telah dilakukan oleh tiap-tiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka didirikanlah dengan resmi sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal (atas bawah) dengan suatu nizham yang pasti dan disusun bersama-sama sebagai pengambil inisiatip berdirinya jamiyah Persatuan Islam tercatat tokoh yang bernama KH. Zamzam dan KH. Muhammad Junus (tafsir Qanun Asasi 1968: 8, 1983: 6). Mereka menamakan Persatuan Islam itu adalah supaya umat Islam bersatu memegang Quran dan Sunah, bersatu seragam mulai dari aqidah, ibadah sampai dengan muamalah berpegang pada tali Allah yakni Al-Quran dan al-Hadits. Dan bukan jamaah yang mencampur adukan Sunnah dan Bid’ah, hak dan bathil (Eman Sar’an, 1964: 9). Dengan demikian Study Club itu melahirkan jam’iyyah Persatuan Islam dan kemudian  jam’iyyah membentuk Majelis Fatwa.

PERSIS Berdiri pada awal 1920-an, tepatnya hari Rabu, 1 Shafar 1342 H (12 September 1923 M)  di Bandung oleh sekelompok orang yang berminat dalam study dan aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam, seorang Alumnus Dar-Ulum Mekkah dan haji Muhammad Yunus, seorang pedagang sukses yang sama-sama kelahiran Palembang. Nama Persatuan Islam itu diberikan untuk mengarahkan jihad dan ijtihad serta upaya segenap potensi, tenaga,  usaha dan pikiran guna mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak organisasi: persatuan pemikiran islam, persatuan rasa islam, persatuan usaha islam, dan persatuan suara islam. Bertitik tolak dari pemikiran, rasa, usaha dan suara islam itu, jam’iyyah atau organisasi itu dinamakan persatuan islam. Penamaan ini diilhani oleh firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 103 : “Berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (undang-undang atau aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai” dan Hadits yang diriwayatkan oleh TIrmidzi bahwa “kekuasaan Allah itu ada pada Jama’ah.” Firamn Allah dan hadits tersebut menjadi motto PERSIS dan menjadi lambing PERSIS dalam lingkaran bintang bersudut dua belas buah yang di bagian tengahnya tertera tulisan Persatuan Islam, ditulis dengan memakai hurup arab Melayu.
Pada awal PERSIS berdiri, orang-orang yang tergabung dalam Jam’iyyah itu melihat realitas empiric bahwa masyarakat muslim Indonesia, khususnya di bandung yang menjadi tempat lahirnya organisasi ini, banyak melakukan praktek penyimpangan dalam praktek keagamaannya, baik akidah maupun ibadah. Kaum muslim di Indonesia tenggelam dalam biusan taqlid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, serta syirik. Karena itu, mereka merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah Allah untuk mengangkat Umat dari jurang kemadegan berfikir dan ketertutupan pintu ijtihad . Persis memiliki cirri khas tersendiri, yakni kegiatannya dititik beratkan pada paham keagaman.
Sebagai organisasi perjuangan yang bertujuan menyusun dan membentuk masyarakat yang didalamnya berlaku ajaran dan hokum Islam, PERSIS mempunyai pandangan dan analisis dan perjuangan yang sesuai dengan dasar keyakinannya. Selama zaman colonial belanda (sejak awal berdirinya), Persis menitik beratkan perjuangannya pada penyebaran dan penyiaran paham aliran Al-Qur’an Sunnah kepada masyarakat kaum muslimin, buka untuk memperbesar atau memperluas jumlah anggota dalam organisasi. Secara Umum. PERSIS kurang memberi tekanan pada kegiatan organisasi sehingga tidak berminat untuk membentuk banayk cabang atau menambah sebayak mungkin anggota. Pembentukan cabang hanya dilakukan jika ada inisiatif dari peminat dan tidak didasarkan pada rencana yang dilakukan oleh pimpinan pusat. Menurut Deliar Noer, pengaruh dari organisasi PERSIS ini jauh lebih besar daripada jumlah cabang atau anggotanya. Popularitas PERSIS ini menonjol terlebih setelah mendapat dukungan dan partisipasi dari dua tokoh penting di PERSIS, yaitu Ahmad Hassan, yang dianggap sebagai guru Utama PERSIS pada masa sebelum perang, dan Mohammad Natsir yang pada masa itu yang berkembang dan tampaknya bertindak sebagai juru bicara organisasi bagi kalangan kaum terpelajar.
A. Hassan kelahiran Singapura pada 1987 dari ayah Tamil dan Ibu Jawa, bergabung dalam kegiatan diskusi PERSIS pada 1924. Ia orang yang cerdas dan lancer berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil. Ia juga menguasai pengetahuan Agama dan Umum yang sangat Luas. Ia pernah berkunjung dari singapura ke Surabaya pada tahun 1920 dalam hubungan dagang batik keluarganya. Di sana, ia mulai terlibat diskusi-diskusi agama dengan tokoh-tokoh agama di Indonesia sekitar pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, modernis sehingga dapat dimengerti jika A, Hassan pindah ke bandung masuk lingkaran PERSIS. Ia memusatkan kegiatan hidupanya  dalam pengembangan pemikiran Islam dan menyediakan dirinya sebagai pembela Islam.
Ke-Khasan Persis dalam penyebaran Paham keagamaan dengan Umat, selain dalam bentuk tulisan di majalah yang diterbitkannya sendiri, selain dalam bentuk tulisandi majalah yang diterbitkannya sendiri, juga dalam bentuk dakwah lisan, kelompok study, perdebatan, tabligh dan khotbah-khotbah yang dianggap orang sebagai berani, keras, tegas, lugas tetapi jelas terkadang menimbulkan kesan kebencian. Ini terbukti ketika PERSIS menjelma menjadi organisasi paling ekstrim, liberal dan radikal dalam melakukan pertentangan terhadap tradisi-tradisi yang dianggap sebagai ajaran agama padahal bid’ah, khurafat dan takhayul.
Alam pemikiran gaya Khas keras seperti itu semakin menemukan bentuknya ketika Ahmad Hassan memperkenalkan pendapatnya tentang beragama yang benar, yaitu hubungan manusia dengan tuhan, bergantung pada benar tidaknya seorang memahami dan melaksanakan hokum Islam. Ahmad Hassan mengemukakan bahwa :
“Kehidupan seorang Islam tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan hokum Islam sebagai Konsekwensi logis dari penyerahan dirinya kepada tuhan. Manusia sebagai ‘abid (hamba) harus melaksanakan ibadah (ta’at) sepenuhnya kepada Allah, sang khaliq (pencipta), sekaligus ma’bfd (yang dipertuan )”, atau sebagai sumber kekuasaan. Untuk itu, setiap orang harus membersihkan dirinya dari kepercayaan dan tradisi yang tidak diperintahkan oleh orang islam.
Betapapun besarnya seorang Ulama atau imam, ia tidak lebih dari seorang guru yang dapat mengajarkan ilmu-ilmunya kepada masyarakat. Setiap anggota masyarakat memilki kebebasan untuk memiliki kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendapatnya. Karena itu, A. Hassan tidak membenarkan adanya madzhab. Pendapat empat madzhab yang terkenal itu pun bias salah jika ternyata tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Secara Umum hidup ini berdasarkan Qodho dan Qadar Allah. Seorang muslim tidak boleh mempercayai hari naas dan sebagainya karena kepercayaan ini mengurangi keimanannya kepada Allah swt. Bahkan, ia telah menjadi musyrik, dosa besar dalam Islam.
B.     Visi dan Misi
Prinsip-prinsip perjuangan kembali kepada ajaran Quran Sunnah, yang sudah menjadi visi dan trademark PERSIS, secara kongkret telah tercantum dalam Qanun Asasi (anggaran dasar) dan Qanun Dakhili (Anggaran rumah tangga) PERSIS seperti yang dirumuskan dalam rencana Jihad pada Qanun Asasi PERSIS 1957 BAB II pasal 1 tentang rencana Jihad Umum.
1.      Mengembalikan kaum muslim kepada pimpinan Al-Qur’an dan Sunnah.
2.      Menghidupkan ruhul jihad diantara kalangan umat islam.
3.      Membasmi bid’ah, khurafat, takhayul dan syirik, dalam kalangan umat islam.
4.      Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah islamiyyah kepada segenap lapangan masyarakat.
5.      Menmgadakan, memlihara dan memakmurkan masjid, suarau dan langgar serta tempat ibadah lainnya untuk memimpin peribadatan umat islam menurut sunnah nabi yang sebenarnya menuju takwa.
6.      Mendirikan pesantren atau madrasah untuk mendidik putra-putri Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
7.      Menerbitkan kitab, buku, majalah dan siaran-siaran lainnya guna mempertinggi kecerdasan kaum muslim dalam segala lapangan ilmu.
8.      Mengadakan dan memelikhara hubungan baiak dengan segenap organisasi dan gerakan Islam di Indonesia seluruh dunia Islam, menuju terwujudnya persatuan alam Islami.
Rencana jihad Persis secara khusus, dirumuskan dalam baba II pasal 2 Qanun Asasi, sebagai berikut :
1.      Membentuk Hawariyyun Islam yang terdiri dari mubalighin dan mubalighat dengan jalan mempertajam serta memperdalam pengertian mereka dalam so’al-so’al ajaran Islam.
2.      Mendidik dan membentuk warga Anggota PERSIS supaya menjadi Uswatun hasanah bagi masyarakat sekelilingnya, baik dalam lapangan aqidah dan ibadah maupun dalam mu’amalah.
3.      Mengadakan tantangan dan perlawanan dan perlawanan terhadap aliran yang mengancam hidup keagamaan pada umumnya dan hidup keislaman pada khususnya, seperti paham materialism, atheism dan komunisme.
4.      Melakukan amar ma’ruf dan nahyi munkar dalam segala ruang dan waktu dan melawan golongan musuh-musuh islam dengan cara sepadan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Pada Qonun asasi produk muktamar 2000 Jakarta, misi PERSIS yang bertujuan “Terlaksananya Syari’at Islam berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara Kaffah dalam segala Aspek kehidupan” dijabarkan lebih sipum pada pasal 5, rencana jihad sebagai berikut :
1.      Mengembangkan dan memberdayakan potensi Jam’iyyah demi terwujudnya Jam’iyyah sebagai Shuratun Mushaghgharatun ani islam wa hikmatu Al-Asma.
2.      Meningkatkan pemahaman dan pengalaman keislaman bagi anggota khususnya dan umat islam pada umumnya sehingga tercipta barisan Ulama, zu’ama, ashabun dan Hawariyun Islam yang senantiasa iltizam terhadap risalah Allah.
3.      Meningkatkan kesadaran dan pemberdayaan anggota khususnya dan umat islam pada umumnya sehingga tercipta barisan ulama dalam bermuamalat secara jama’I dalam setiap aspek kehidupan.

C.    Struktur Kelembagaan
Dewan Hisbah, Majelis Ulama Persatuan Islam, Majelis Fatwa atau Majelis Goeroe Agama menurut Qanun Asasi atau Anggaran Dasar Persatuan Islam sejak berdirinya tahun 1923 sampai dengan tahun 2000 sebagai berikut:
Menurut anggaran dasar Persatuan Islam tahun 1923, cetakan kedua tanggal 28 Agustus 1934, halaman 8 Pasal 9 dengan bahasa dan ejaan lama menyebutkan sebagai berikut: Madjelis Fatwa dan Pekerdjaannja. Dalam perserikatan ini diadakan satoe badan madjelis goeroe agama terdiri dari sedikitnja dari tiga anggota yang memberi fatwa dalam segala oeroesan-oeroesan yang berhoeboengan dengan agama yang soedah ada atau beloem dipoetoeskan oleh pengoeroes besar atau Moektamar.
Menurut Anggaran Dasar Persatuan Islam tahun 1953 pasal VII menjelaskan: Persatuan Islam mempunyai Majelis Ulama yang bertugas menyelidik dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Quran dan Sunnah dan pusat pimpinan menyiarkannya.
Menurut Qanun Asasi Persis tahun 1957 Bab V pasal 1 tentang fungsi dan kedudukan Majelis Ulama Persis adalah sebagai berikut:
a.       Persatuan Islam mempunyai Majelis Ulama yang bertugas menyelidiki dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah, dan Pimpinan Pusat menyiarkannya.
b.      Majelis Ulama diangkat oleh Pemimpin Pusat buat selama-lamanya.
c.       Sesuai dengan kedudukannya sebagai waratsatul anbiya, Majelis Ulama mempunyai hak veto (menolak dan membatalkan). Segala keputusan dan langkah yag diambil dalam segala instansi oragannisasi Persatuan Islam.
d.      Qaidah Majelis Ulama pasal 2 mengatur cara bekerja Majelis Ulama :
a)      Segala keputusan dan atau ketetapan yang diambil oleh Majelis Ulama dalam lapangan hukum agama wajib dipatuhi oleh pusat pimpinan dan segenap anggota Persatuan Islam.
b)      Instansi Majelis Ulama hanya diadakan oleh Pimpinan Pusat.
c)      Cabang-cabang berhak mencalonkan ulama daerahnya kepada pusat pimpinan untuk menjadi anggota Majelis Ulama disertai riwayat hidup ulama tersebut.
d)     Pusat Pimpinan berhak menolak calon yang diajukan itu.
Menurut Qanun Asasi 12 September 1957 yang disempurnakan pada tanggal 12 Oktober 1963 Pasal 4 (B) menerangkan sebagai berikut:
  1. Bagian hukum yang bernama Majelis Ulama yang anggota-anggotanya diangkat oleh Pusat Pimpinan Persatuan Islam, dipilih dari mereka yang aktif dan mendapat kepercayaan di dalam daerahnya.  
  2. Majelis Ulama berkewajiban menyelidiki dan meneliti hukum-hukum syara’ serta menetapkannya dengan berdasarkan Quran dan Sunah Nabi.
  3. Cara bekerja Majelis Ulama diatur dalam Qaidah Majelis Ulama yang tidak bertentangan isinya dengan Qanun Asasi ini dan disahkan oleh Pusat Pimpinan Persatuan Islam.
  4. Majelis Ulama Persatuan Islam di bidang hukum adalah pembantu Pusat Pimpinan Persatuan Islam di bidang hukum syara’ yang menajadi dasar organisasi ini.
Menurut Qanun Asasi 19 Februari 1968 dengan panitia perubahannya ; Ketua Muhammad Rusyad Nurdin dan Sekretarisnya Junus Anis, pada halaman 10 Pasal 8 menyebutkan sebagai berikut :
1)      Pusat pempinan Persatuan Islam membentuk Dewan Hisbah.
2)      Dewan Hisbah berkewajiban membantu Pusat Pimpinan Persatuan Islam dalam meneliti hukum-hukum Islam dan mengatasi pelaksanaannya serta memberikan teguran atas pelanggaran-pelanggaran hukum Islam yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggota jamiyah dengan cara khusus.
Menurut Qanun Asasi tahun 1991 Bab II Pasal 12 Menyebutkan : Bahwa Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh Pusat Pimpinan dan merupakan Dewan Pertimbangan serta Pengkajian syara’ dalam jam’iyah.
Menurut Qanun Asasi tahun 1996 Bab II Pasal 13 Menyebutkan sebagai berikut:
1)      Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh pimpinan Pusat.
2)      Dewan Hisbah merupakan Dewan Pertimbangan dan pengkajian syara’ dalam jami’yah.
Pada pasal ini tidak ada perubahan kecuali pasal 12 menjadi 13 yakni Pusat Pimpinan dirubah menjadi Pimpinan Pusat.
Menurut Qanun Asasi tahun 2000 Bab II Pasal 13 Menyebutkan mengenai fungsi dan kedudukan dewan hisbah adalah sebagai berikut:
1)      Dewan Hisbah dibentuk dan ditetapkan oleh Dewan Hisbah.
2)      Dewan Hisbah merupakan Dewan Pertimbangan dan pengawasan bagi jami’yah.
Dengan uraian tersebut diatas dapat dikatakan, bahwa jauh sebelum tahun 1923 telah ada kelompok penelaah (study club) terhadp ajaran Islam, mereka menamakan kelompok itu dengan nama Persatuan Islam dan ada juga yang memberi nama Permufakatan Islam. Setiap kelompok tidak lupa kepada kelompok pertama yang ada di Bandung sehingga mereka senantiasa mengadakan hubungan satu sama lainnya, maka oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa Persis itu adalah kelompok penelaah (study club) sebelum menjadi Jamiyah dan inilah sebagai cikal bakal atau embrio dewan Hisbah.
Setelah berdiri jamiyah Persatuan Islam, kelompok penelaah tersebut terus berlangsung dan oleh jamiyah diberi nama majelis fatwa atau majelis Guru agama, nama Majelis guru Agama ini sampai dengan tahun 1953, dan dari tahun 1953 sampai dengan tahun 1962 namanya berubah menjadi Majelis Ulama, pada masa kepemimpinan KH.E. Abdurrahman (1962-1983) Majelis Ulama itu diganti dengan nama Dewan Hisbah sampai sekarang. Kemudian nama Majelis Ulama itu dipakai oleh lembaga Negara yaitu Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
Muktamar Persatuan Islam tahun 1953 di Bandung antara lain memutuskan, Ketua Umum KH.M. Isa Anshari, Sekretaris Jendral E. Bachrum dan Para Penasehatnya (1) A. Hassan (2) M. Natsir (3) Fachruddin Al-Kahiri. Tasykil Majelis Ulama Persatuan Islam adalah: Ketua KH. Munawar Chalil (Semarang), Sekretaris A. Kadir Hasan (Bangil), Anggota-anggotanya adalah: (1) KH. M. Tamim (Bogor), (2) A. Hassan (Bangil), (3) E. Abdurrahman (Bandung), (4) I. Sudibdja (Bandung), (5) E. Abdullah (Bandung), (6) Abdullah Ahmad (Bandung), (7) H. Junus Khadiri (Jakarta), (8) KH. Maksum (Djogjakarta), (9) H. Abdur Rafieq/ Mama Ropek (Mangahang Bandung), (10) Teuku Muhammad Hasby Asshidiqi (Djogjakarta).
Fatwa-fatwa Majelis Ulama Persatuan Islam tahun 1953 yang ditanda tangani oleh ketuanya KH. Munawar Chalil dan penulisnya A. Kadir Hassan adalah sebagai berikut:
1.      Definisi Agama
Berhubung di waktu akhir-akhir ini banyak timbul agama baru, menuntut kepada pemerintah supaya membuat definisi agama, fatwa Majelis Ulama Persis tentang Agama (dien) adalah Wahyun illahiyyun munazzahm min indillahi liyuballighun naasa, Wahyu Ilahi yang diturunkan dari Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Maka oleh karena itu, segala tuntunan yang datang tidak sari Syar’i adalah agama palsu dan setelah wafat Nabi Muhammad Saw. tidak ada sebarang Nabi dan tidak ada lagi agama, segala macam yang orang namakan agama adalah agama palsu.
2.      Harta Warisan
Bahwa harta warisan yang tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, haram (tidak sah) Majelis Ulama Persis minta kepada Muktamar Persis supaya Muktamar mendesak pemerintah agar mengatur harta warisan umat Islam berdasarkan Quran dan Sunah.
3.      Organisasi.
Majelis Ulama Persis memfatwakan: Haram umat Islam memasuki/ menjadi angauta Pary-party atau organisasi:
a.       Berpendirian menentang Islam
b.      Bersifat menentang Islam seperti PKI dan yang seumpama dengannya.
­Anggota Majelis Ulama Persatuan Islam tahun 1956-1960 tasykilnya adalah sebagai berikut:
1.      A. Hassan (Bangil)
2.      KH. Ahmad Mansyur (Bandung)
3.      KH. Imam Ghazali (Jakarta)
4.      KH. Munawar Khalil (Yogyakarta)
5.      KH. Ma’sum (Yogyakarta)
6.      KH. Said B. Thalib (Pekalongan)
7.      TM. Hasby Ash-Shiddiqy (Yogyakarta)
8.      KH. Junus Khadiri (Jakarta)
9.      KH. E. Abdurrahman (Bandung)
10.  KH.O. Qomarudin Saleh (Bandung)
11.  KH.M. Ali Al-Hamidi (Jakarta)
12.  KH. Abdullah Ahmad (Jakarta)
13.  KH. Abdul Qadir Hassan (Bangil)
14.  KH. E. Abdullah (Bandung)
15.  KH. I. Sudibja (Bandung)

Anggota Majelis Ulama Persis, seperti A.Hassan dan T.M. Hasby Hasby asshidiqi, KH. Munawar Chalil, E. Abdurrahman mereka lebih terkenal sebagai ulama yang mumpuni dan sebagai penulis buku yang paling produktif di masanya. Soal-Jawab A. Hassan mengalami belasan kali cetak, demikian pula karya-karya Prof. Dr. TM. Hasbi Asshidiqi seperti Ulumul Quran dan Ulumul Hadits mengalami beberapa kali cetakan dan dijadikan sebagai buku wajib di berbagai perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta. KH. Munawar Chalil menulis buku Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad saw. dan buku Empat serangkai Imam Madzhab, juga KH.E. Abdurrahman menerbitkan majalah Risalah, yang sekarang menjadi buku-bukunya.
Menurut penelitian Howard M. Fedespiel dari Cornel University, New York ia mencatat bahwa Ahmad Hassan, Haji Munawar Chalil, dan Haji Mahmoed Aziz terkenal karena fatwa-fatwanya tentang berbagai macam prilaku umat Islam, dan T.M. Hasbi asshidiqi menjadi sangat terkenal karena fatwanya yang menyatakan, bahwa transfusi darah diperbolehkan oleh hukum Islam.
Pada masa kepemimpinan KH.E. Abdurrahman (1968-1983) Majelis Ulama itu diganti dengan nama Dewan Hisbah, tetapi fungsinya masih lemah dan tidak tampak kepermukaan, faktor utama yang menyebabkan lemahnya fungsi Dewan Hisab tersebut, karena disamping ia sebagai pemimpin Persantren, juga sebagai ulama yang mumpuni serta kharismanya yang besar, beliau merupakan pemimpin organisasi dan pemimpin agama yang ideal.
Pada masa kepemimpinan Persis dibawah KH.A.Latief Muchtar, MA (1983-1997) Dewan Hisbah difungsikan kembali dan tasykilnya dibagi menjadi tiga priode (lihat Panduan Hidup berjamaah, Shiddiq Amien: 158).
Periode pertama masa jihad 1983-1990 adalah sebagai berukut:
Ketua                          : KHE. Abdurrahman (Bandung)
Wakil Ketua                : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Sekertaris                    : KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
Wakil Sekertaris I       : KHO. Syamsuddin (Bandung)
Wakil Sekertaris II      : KHI. Shodikin (Bandung)
Para Anggota              :
1.      KH. Ajengan Hassan (Purwakarta)
2.      KH. Akhyar Syuhada (Cianjur)
3.      KH. Ali Ghazali (Cianjur)
4.      KH. Ismail Fikri (Jakarta)
5.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
6.      KH. Aceng Zakaria (Garut)
7.      KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
8.      Ustadz Suraedi (Tasikmalaya)
Periode kedua masa jihad 1990-1995 dengan tasykil sebagai berikut:
Ketua                          : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Wakil Ketua                : KH. Achyar Syuhada (Cianjur)
Sekertaris                    : KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
Para Anggota              :
1.      KH. Ajengan Hassan (Purwakarta)
2.      KHO. Syamsuddin (Padalarang)
3.      KHA. Latief Muchtar, MA (Bandung)
4.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
5.      KHA. Ghazali (Cianjur)
6.      KH. Drs. Nasihin bin Sayuti (Purwakarta)
7.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
8.      KH. Shodikin (Bandung)
9.      KH. Muh. Romli (Bandung)
10.  KH. Aceng Zakaria (Garut)
11.  KH. Ismail Fikri (Jakarta)
12.  KH. Drs. M. Nurdin, SH (Jakarta)
13.  KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
14.  KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
15.  KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Sapeken)
16.  KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
17.  KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
Periode ketiga masa jihad 1995-2000 tasykilnya adalah:
Ketua                          : KH. Eman Sar’an (Jakarta)
Wakil Ketua                : KHA. Syuhada (Cianjur)
Sekertaris                    : KH. Drs. Siddiq Amien (Tasikmalaya)
Para Anggota              :
1.      KHO. Syamsuddin (Bandung)
2.      KHA. Latief Muchtar, MA (Bandung)
3.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
4.      KHA. Ghazali (Cianjur)
5.      KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
6.      KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy (Bandung)
7.      KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
8.      KH. Usman Sholehudin (Bandung)
9.      KH. Shodikin (Bandung)
10.  KH. Drs. M. Nurdin, SH (Jakarta)
11.  KH. Muh. Romli (Bandung)
12.  KH. Drs. Ahmad Mubin (Jakarta)
13.  KH. Aceng Zakaria (Garut)
14.  KH. Ad-Dailamy Abu Hurairah (Sapeken)
15.  KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
16.  KH. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil)
17.  KH. Mochtar Soemawikarta (Sukabumi)
18.  KH. Dr. M. Abdurrahman, MA (Bandung)
Pada tanggal 12 Oktober 1997, ketua Umum PP. Persis yang juga anggota Dewan Hisbah KHA. Latief Muchtar, MA wafat. Pada periode ini juga Dewan Hisbah kehilangan putra-putra terbaiknya, yaitu Allah yarham, KHO. Syamsuddin, KH. Drs. Moh. Syarief Sukandy, KH. Mochtar Somawikarta, KH. Drs. Nasihin bin Sayuti, KH. Drs. M. Nurdin, SH dan KH. Ajengan Hasan.
Melalui musyawarah khusus PP.Persatuan Islam yang melibatkan seluruh Pimpinan Pusat, Para Ketua Umum otonom (Persistri, Pemuda dan Pemudi) seluruh anggota dewan Hisbah, dan para ketua PW Persis, 25 oktober 1997 di Ciganitri Bandung, secara aklamasi menunjukan KH. Drs. Siddiq Amien sebagai Ketua Umum Pengganti sampai Muktamar ke 12. pada Mukhtamar ke 12 tanggal 9,10 dan 11 September 2000 di Jakarta, Ustadz shiddiq Amien terpilih kembali sebagai ketua umum untuk masa jihad 2000-2005. pada periode ini tasykil Dewan Hisbah ditetapkan sebagai berikut :
Ketua                          : KHA. Syuhada (Cianjur)
Wakil Ketua                : KH. Usman Sholehuddin (Bandung)
Sekertaris                    : KH. Dr. M. Abdurrahman, MA
Wakil Sekertaris          : KH. Wawan Shafawan
Para Anggota              :
1.      KHA. Ma’sum Nawawi (Majalengka)
2.      KHA. Ghazali (Cianjur)
3.      KH. Abdul Qodir Shodiq (Bandung)
4.      KHM. Abdurrahman Ks (Tasikmalaya)
5.      KH. Shodikin (Bandung)
6.      KH. Drs. Shiddiq Amien (Tasikmalaya)
7.      KH. Muh. Romli (Bandung)
8.      KH. Aceng Zakaria (Garut)
9.      KH. Ghazi Abdul Kadir (Bangil)
10.  KH. Luthfi Abdullah Ismail (Bangil)
11.  KH. Drs. Ahmad Mubin (Jakarta)
12.  KH. Entang Muchtar, ZA (Garut)
13.  KH. Taufiq Rahman, S.Ag (Jakarta)
14.  KH. Drs. Uus Muhammad Ruhiyat (Bandung)
15.  KH. M. Rahmat Najieb, S.Pd. (Bandung)
Pada periode ini pun Dewan Hisbah kembali kehilangan putra terbaiknya dengan wafatnya KH. Eman Sar’an, KHA. Ma’sum Nawawi, KH. Ali Ghazali dan KH. Ghazi Abdul Kadir.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, jelas sekali bahwa tidak ada seorang pun dari anggota Persatuan Islam Istri (Persistri) yang menjadi anggota Dewan Hisbah, namun demikian tidak ada satu pasal pun Qanun Asasi, Qanun Dakhili dan aturan lain yang melarang Persistri menjadi anggota dewan Hisbah, bahkan Allah yarham KHA. Latief Muchtar, MA. Menjelaskan, bahwa Dewan Hisbah tidak mengharamkan anggotanya dari Persistri, tapi saat ini belum ada yang layak dari Persistri untuk menjadi anggota Dewan Hisbah.
Mengenai kedudukan, hak dan fungsi Dewan Hisbah diatur dalam Qanun Asasi pasal 13 dan Qanun Dakhili Bab VI pasal 34-38. Hasil Mukhtamar ke 12. dewan Hisbah dalam SK Nomor: 003/I.1.2-C.1/A.1/1994 yang ditandatangani oleh KHE. Sar’an sebagai ketua dan KH. Siddiq Amien sebagai sekertarisnya, menetapkan komisi-komisi dalam Dewan Hisbah yang terdiri dari: Komisi Ibadah Mahdlah, Komisi Mu’amalah dan Komisi Aliran Sesat, tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya (Shiddiq Amien, 2005 : 162). Adapun tugas dan tasykil komisi-komisi itu adalah sebagai berikut:
  1. Komisi Ibadah Mahdhah
  1. Menyusun konsep petunjuk pelaksanaan ibadah praktis untuk pegangan anggota dan calon anggota.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi.
  3. Mempresentasikan hasil siding komisi dalam sidang lengkap
Adapun tasykil komisi ibadah mahdhah adalah sebagai berikut :
  1. KH. Usman Shalehuddin, Ketua
  2. KHM. Abdurrahman Ks, Sekertaris
  3. KHO. Syamsuddin, Anggota
  4. KH. Ajeng Hassan, Anggota
  5. KH. Moh. Romli, Anggota
  6. KH. Ad-Dailami Abu Hurairah, Anggota

  1. Komisi Muamalah
Tugas komisi muamalah adalah sebagai berikut:
  1. Mengadakan pembahasan masalah-masalah kemasyarakatan (muamalah) yang muncul di masyarakat baik atas hasil pemantauan atau atas dasar masukan dari komisi lain atau dari luar.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
  3. Mempresentasikan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
Adapun tasykil komisi mu’amalah adalah sebagai berikut:
  1. KH. Ma’sum Nawawi, Ketua
  2. KH. Drs. Moh. Syarif Sukandi, Sekertaris
  3. KH. Abdul Qodir Shodiq, Anggota
  4. KH. Ali Ghazali, Anggota
  5. KH. Drs. M.Nurdin, SH, Anggota
  6. KH. Drs. Ahmad Mubin, Anggota

  1. Komisi Aliran Sesat
Tugas Komisi Aliran sesat adalah sebagai berikut:
  1. Melakukan penelitian dan pembahasan mengenai aliran-aliran yang muncul di masyarakat.
  2. Merumuskan hasil sementara pembahasan dalam sidang komisi
  3. Mempresentasikan hasil sidang komisi dalam sidang lengkap
Adapun tasykil komisi aliran sesat adalah sebagai berikut:
  1. KHA. Latief Muchtar, MA, Ketua
  2. KHI. Shodiqin, Sekertaris
  3. KH. Ghozi Abdul Qodir, Anggota
  4. KH. Nasihin bin Ahmad, Anggota
  5. KH. Aceng Zakaria, Anggota
Sidang komisi ibadah mahdhah, komisi muamalah dan komisi aliran sesat dipimpin oleh ketua komisi masing-masing dan dibantu oleh salah seorang anggota komisi.
Pada tanggal 8 Juni 1996 komisi-komisi tersebut diatas direstrukturisasi dengan tasykil sebagai berikut :
  1. Komisi Ibadah Mahdhah
1.      KHO. Syamsuddin, Ketua
2.      KH. Aceng Zakaria, Sekertaris
3.      KH. Abdul Qodir Shodiq, Anggota
4.      KH. Usman Shalehudin, Anggota
5.      KH. M. Abdurrahman Ks, Anggota
  1. Komisi Muamalah
1.      KHI. Shodiqin, Ketua
2.      KH. Moh. Romli, Sekertaris
3.      KH. Ma’sum Nawawi, Anggota
4.      KH. Ghozi Abdul Qodir, Anggota
5.      KH. Dailamy Abu Hurairah, Anggota
6.      KH. Drs. Ahmad Mubin, Anggota
  1. Komisi Aliran Sesat
1.      KH. Abdul Latief Muchtar, MA, Ketua
2.      KHM. Abdurrahman, MA, Sekertaris
3.      KH. Moh. Syarif Sukandi, Anggota
4.      KH. Mochtar Somawikarta, Anggota
Pada masa kepemimpinan KHE. Aburrahman (1962-1983) Ketua Dewan Hisbah al-Ustadz KH. Abdul Qadir Hassan, tapi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan sebelum tahun 1983 tidak diketemukan dokumentasinya (siddiq Amien, 2005: 157, 162). Namun walau pun demikian, baik KH.Abdurrahman maupun KH. Abdul Qadir Hassan mereka menulis tentang yang berkaitan dengan metode istinbath al-ahkam. KHE. Abdurrahman menulis buku Merenahkeun Hukum dina Agama, perbandingan Madzhab-madzhab dan ilmu Riwayat. KH. Abdul Qadir Hassan menulis buku Musthalah hadits, Ushul Fiqih dan pada tahun 1968 ia menulis Metode istinbath al-ahkam yang di istilahkan sebagai tamhied untuk melengkapi berbagai masalah yang termaktub di dalam kitab soal-jawab.
KHE. Abdurrahman menjelaskan tentang Dewan Hisbah (lihat Abdurrahaman. t.th : 12) sebagai berikut: Allah Swt. telah mensyari’atkan hukum dan undang-undang yang menetapkan batas agama yang tidak boleh dilangggar, dirubah atau ditambah, hanya cara dan taktiknya dipasrahkan kepada umat Islam, umat Islam boleh menukar atau merubah cara tersebut sesuai dengan keadaan dan zaman.
Umat Islam wajib menjauhi segala larangan Allah Swt. dan wajib melaksanakan segala perintahnya. Umat Islam dalam menjalankan syari’at Islam ditarik oleh iman dan didorong oleh kekuasaan siasat kenegaraannya serta diawasi oleh masyarakatnya. Tidak sedikit orang yang sangat mengerti madlaratnya minuman keras, tetapi karena imannya tidak mengharamkannya, maka penyaksian kemadlaratan miras tersebut tidak kuasa untuk menekan nafsunya. Tetapi bagi umat Islam yang beriman walaupun ia belum menyaksikan kemadlaratannya tentu ia akan kuat untuk menekan kehendaknya. Jadi terang sekali bagi umat Islam, bahwa kekuatan Islam itu melebihi kekuatan ilmu pengetahuan. Akan tetapi lantaran godaan setan khannas. Penunggu pelawan yang selalu mengintai kelemahan menanti zwake moment sering orang yang sudah beriman itu khianat terhadap imannya, melanggar kepercayaannya, maka oleh karena itu perlu ada dorongan keimanan tersebut dari pihak yang berkuasa yaitu pemerintah. Rasulullah Saw. bersabda: Innalaha laayazau bisulthani maa laayaza’u bil qurani. Sesungguhnya Allah melindungi umat-Nya dengan pemerintahan (shulthan) apa-apa yang tidak dapat diperlindungi oleh Quran. Hadits ini menegaskan bahwa kesempurnaan berlakunya syari’at Allah itu selain Al-Quran yang telah diimankan itu juga perlu kepada shulthan (siasat) yang menjamin keselamatan umat.
مَنْ رَاَى مِنْكُـمْ مُنْكَـرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَـلْبِهِ وَذَالِكَ اَضْعَفُ اْلاِيْمَانِ (رواه مسلم I: 69) 
Barangsiapa diantara kamu melihat amal yang munkar atau kejahatan hendaklah ia mengubah dengan tangannya,kalau ia tidak mampu maka hendaklah ia memperlihatkan ia tidak setuju (penyesalan) dengan hatinya dan hal itu adalah selemah-lemahnya iman (HR. Muslim I: 69).
Perintah ini bagi semua umat Islam, tapi kalau diperhatikan hadits tersebut nyata sekali bahwa ia mempunyai kekuasaan untuk merubah kemunkaran dengan jalan kekuatan itu adalah pemerintah. Dan banyak pula perintah-perintah wajib yang harus diselenggarakan dengan sempurna yang berhajat kepada iman yang teguh dan pimpinan siasat yang sehat, maka oleh karena itu dalam Negara-negara Islam dalam Tarikh diterangkan bahwa sebagian besar tentang undang-undang diserahkan kepada suatu dewan yang bernama Dewan Hisbah supaya segala yang berkaitan dengan rech normen dapat disempurnakan oleh dewan tersebut.
Dewan Hisbah itu adalah yang bekerja mengawasi jalannya berbagai aturan supaya jangan terjadi pelanggaran dan pemalsuan bukan hanya mencari yang sudah melanggar, tapi berusaha dengan bermacam-macam cara supaya jangan ada kejadian yang mengecewakan yang bersifat mubasyirin wa mundzirin. Umat Islam di Indonesia yang sudah bangun dan membangunkan negaranya, bukan mesti mengadakan dewan yang persis yang ada dalam tarikh tersebut, sebab soal ini adalah soal duniawi, orang Islam bisa merubah nama serta caranya hanya ruhnya mesti tetap dan oleh karena itu bertambah tenang bagi umat Islam bahwa agama itu telah sempurna untuk mengurus alam dan serba diatur oleh rabbul ‘alamin.
D.    Metode Istinbath Hukum
a.    Pandangan Dewan Hisbah Persis Terhadap Hadits dalam Istinbath Al-Ahkam.
Al-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi Saw selain al-Quran baik ucapan, perbuatannya dan sikap diamnya (taqrir).
1)      Kehujahan Al-Sunnah
Para ulama telah sepakat bahwa al-Sunnah dapat dijadikan hujjah dalam menentukan hukum, Sunnah dapat berfungsi seperti Al-Quran dalam menentukan hukum halal dan haram, wajib atau sunah dsb. firman Allah :

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْـتَهُوْا
Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
اَلاَ إِنِّى اُتِيْتُ الْقُرْاَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ (ابوداود)
Ingatlah, sungguh aku telah diberi al-Quran dan  semisalnya yang menyertainya (HR. Abu Dawud)
 Kedudukan Sunnah dalam Tasyri Islam
Hubungan as-Sunnah dengan al-Quran dari segi kandungannya ada tiga macam:
  1. Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang telah ada dalam al-Quran maka hukum tersebut berarti mempunyai dua dasar hukum, yaitu al-Quran sebagai penetap atau penentu hukum, sementara as-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya, seperti: Perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, memakan riba dsb.
  2. Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan pengikat terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, ‘am atau mutlaq.
Ayat-ayat al-Quran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam al-Sunnah, seperti perintah shalat dalam al-Quran dijabarkan dalam sabda Nabi Saw:
صَلُّـوْا كَمَـا رَاءَيْـتُمُـوْنِـى اُصَـلِّى
Perintah haji dijelaskan dengan sabdanya :
خُـذُوْا عَـنِّـى مَـنَاسِكَـكُمْ (رواه مسلم)
  1. Sunah berfungsi untuk menetapkan hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan dalam al-Quran, seperti syari’at tentang ‘Aqiqah dan mengurus Jenazah ditetapkan berdasarkan sunah.
Terhadap fungsi sunnah ketiga ini ada kelompok yang tidak mau menerimanya, seperti faham/ kelompok inkarus-sunnah.
2)      Klasifikasi Sunnah dari Segi Datangnya Kepada Kita
Sunnah ditinjau dari segi banyaknya jalan periwayatannya dan penyandarannya dibagi dua yaitu: Muttawatir dan Ahad.
Mutawwatir: adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta, diterima dari banyak orang pula sampai periwayatannya kepada nabi Saw. melalui penglihatan atau pendengaran langsung.
Ahad: adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang serta terbatas dibawah jumlah mutawatir.
Maka dengan data tersebut hadits pun diklasifikasikan kepada dua, yaitu:
  1. Qoth’iyyul Wurud
  2. Dzoniyyul Wurud
     
3)      Dilalah As-Sunnah terhadap Hukum
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hadits ditinjau dari segi sampainya ke tangan kita ada yang Qath’iyyul Wurud dan ada yang Dzaniyyul Wurud, maka dilalahnya kepada hukum seperti al-Quran, ada yang qath’i (pasti) apabila lafadznya tidak mengandung beberapa makna, seperti sabdanya:
فِـى خَمْـسٍ مِنَ الاِبِـلِ شَـاةٌ
Ada juga Dzanni (tidak pasti), bila lafadznya mengandung beberapa makna, seperti:
لاَصَـلاَةَ إِلاَّبِفَـاتِحَـةِ الْـكِتَابِ
Hadits seperti ini masih memungkinkan adanya ta’wil, sehingga ada yang memahami “tidak sah” ini pendapat jumhur ulama, dan ada juga yang memahami “tidak sempurna”, seperti pendapat Hanafiyyah.
Dewan Hisbah tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tapi pendapat imam madzhab menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil ketentuan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa Al-Quran dan Al-Sunnah.
b.   Manhaj Dewan Hisbah

Dewan Hisbah menentukkan manhaj dalam memutuskan atau mengambil keputusan hukum, dengan rumusan-rumusan sebagai berikut:
Dasar utama adalah al-Quran dan hadits shahih:
a.     Di dalam beristidlal dengan al-Quran :
1)      Mendahulukan dlahir ayat al-Quran daripada ta’wil dan memilih cara-cara tafwiedl dalam hal-hal yang menyengktu masalah ‘istiqdaiyyah.
2)      Menerima dan meyakini isi kandungan al-Quran sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqal dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Miraj.
3)      Mendahulukan makna hakiki daripada makna majazi kecuali jika ada qarinah, seperti kalimat “au lamstumun nisa-a” dengan pengertian jima’.
4)      Apabila ayat-ayat al-Quran bertentangan dengan hadits, maka didahulukan ayat al-Quran sekalipun hadits tersebut muttafaqun ‘alaih seperti dalam hal menghajikan orang lain,
5)      Menerima adanya Nasikh dalam al-Quran dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansukh (naskhul kulli).
6)      Menerima tafsir dari para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran (tidak hanya penafsiran ahlul bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran dikalangan para sahabat.
7)      Mengutamakan tafsir bil ma’tsur daripada bir-ra’yi.
8)      Menerima hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Quran, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan sighat haser, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan. 
b.    Dalam Beristidlal dengan Hadits :
1)      menggunakan hadits shahih dan hasan dalam mengambil keputusan hukum
2)      Menerima kaidah :
اَلاَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّى بَعْضُهَا بَعْضًا
Jika dla’ifnya hadits tersebut dari segi dabth (hapalan) dan tidak bertentangan dengan al-Quran atau hadits lain yang shahih. Adapun jika dlaifnya dari segi fisqur-rowi atau tertuduh dusta, maka qaidah tersebut tidak dipakai.
3)      Tidak menerima qaidah
اَلْحَدِيْثُ الضَّعِيْفُ يُعْمَلُ فىِ فَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ
      Karena yang menunjukkan fadlailul a’mal dalam hadits shahih pun banyak.   
4)      Menerima hadits shahih sebagai tasyri yang mandiri, sekalipun tidak merupakan bayan dari al-Quran.   
5)      Menerima hadits ahad sebagai dasar hukum selama hadits tersebut shahih.
6)      Hadits mursal shahaby dan mauquf bi hukmil marfu dipakai sebagai hujjah selama sanad haditsnya tersebut shahih dan tidak bertentangan dengan hadits lain yang shahih.
7)      Hadits mursal sahabi dijadikan hujjah apabila hadits tersebut disertai qorinah yang menunjukkan ittishalnya hadits tersebut.
8)      Menerima qaidah: al-jarhu muqoddamun ‘ala ta’diil, dengan ketentuan sebagai berikut.
a)      Jika yang menjarah menjelaskan jarahnya maka didahulukan jarah daripada ta’dil. 
b)      Jika yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, maka didahulukan ta’dil daripada jarah.
c)      Bila yang menjarah tidak menjelaskan sebab jarahnya, tapi tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqot, maka jarahnya bisa diterima.   
9)      Menerima kaidah tentang sahabat:
الصَـاحَبَـةُ كُلُّهُـمْ عُـدُوْلٌ
10)  Riwayat orang yang suka melakukan tadlis diterima jika ia menerangkan bahwa apa yang ia riwayatkan itu jelas sigat tahamulnya menunjukkan ittishal seperi menggunakan kata hadatsani.   
c.     Dalam masalah-masalah yang tidak diketemukan nashnya yang shahih dalam al-Quran dan Hadits :
Ditempuh dengan ijtihad jama’i dengan rumusan-rumusan sebagai berikut :
1)      Tidak menerima ijma secara mutlak dalam rumusan ibadah, kecuali ijma sahabat.  
2)      Tidak menerima qiyas dalam masalah ibadah mahdlah, sedangkan dalam masalah ibadah ghair madlah diterima selama memenuhi persyaratan qiyas.  
3)      Dalam memecahkan ta’arudl adilah diupayakan
a)      Thariqatul jami, selama masih mungkin di jam’u.
b)      Thariqatul tarjih, dari berbagai sudut dan seginya, misalnya:
i.        Mendahulukan al-mutsbit dari pada an-nafi.
ii.      Mendahulukan hadits-hadits yang dalam shahihhain daripada diluar shahihhain. 
iii.    Dalam masalah-masalah tertentu hadits muslim lebih di dahulukan dari pada hadits bukhari, seperi dalam hal pernikahan Nabi dengan Siti Maemunah.  
iv.    Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan jatuh pada hukum bid’ah lebih didahulukan dari pada mengamalkan sesuatu yang diragukan sunahnya.  
c)      Thariqatun naskhi, jika diketahui mana yang dahulu dan mana yang kemudian.
d)     Dalam membahas masalah ijtihad, dewan hisbah menggunakan qaidah ushul fiqih sebagaimana lazimnya para fuqaha.


DAFTAR PUSTAKA
A. Hasan, Ijma, Qiyas, Madzhab, Taqlid. LP3EB, Bangil, 1984.
________, Soal Jawab tentang berbagai masalah Agama. Diponegoro, Bandung. 1980.
________, Pengajaran Shalat, Bandung : CV. Dipenogoro, 1990 M.
________, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung : CV. Dipenogoro, 1989 M.
Ahmad ibnu Syu’aib Abu Abdirrahman an-Nasaiy, as-Sunan an-Nasaiy, Beirut: Dar Maktabat al-‘Iliyyat, Cet. I 1411 H / 1991 M.
Al-‘Allamat Khalil Ahmad as-Saharnafuri, Badzl al-Majhud Syarh Sunan Abu Dawud, Dar al-Bayn, 1908 H / 1988 M.       
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Maktabat Dar al-Baz, 1414 H/ 1994 M. 
____________________________, Tahdzib at-Tahdzib, Beirut: Dar Sadir, 1325 H.
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnat, Beirut: Dar al-Fikr, 1397 H / 1977 M.
As-Shiddieqi, Prof. Dr. Hasbi, Pokok-pokok sebab-sebab perbedaan faham fukoha dalam menetapkan hukum syara, Romdon, Solo. 1992.
Badri Khaeruman, Islam Ideologis (Persfektif Pemikiran dan Peran Pembaruan Persis), PT. Rakasta Samsta:  Jakarta, 2005.
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan Persis (1923-1983), Gema Syahida. Bandung, 1995.
Dewan Hisbah PP. Persis, Risalah Shalat. Risalah Press: Bandung, 2005. 
Jalalluddin as-Suyuthiy, Syarh Sunan an-Nasa’iy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1412 H / 1992 M.
K.H.A Ghazali, Sosok dan Pemikiran KH.E. Abdurrahman, Makalah pada seminar sehari perjuangan KH.E. Abdurrahman, Bandung, 20 Juli 1997.
Majalah Risalah No. 4 Tahun II, Oktober 1963
Muhammad ibnu ‘Abdillah Abu ‘Abdillah an-Naisaburiy al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Beirut : Dar Maktabat al-‘Ilmiyyat, Cet. I 1411 H/1990 M.
Muhammad ibnu ‘Aliy ibnu Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, Makkah: Dar al-Baz, t.th.    
Muhammad ibnu ‘Utsman Abu Abdillah adz-Dzahabiy, Mizan al-I’tidal, Beirut : Dar al-Ma’rifat, t.th.
Muhammad ibnu Isa Abu Isa at-Tirmidziy, Sunan at-Tirmidziy, Dar Ihya, t.th.
Muslim ibnu al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairiy an-Naisaburiy, Shahih Muslim, Beirut: Daru Ihya’ at-Tirats al-‘Arabiy, t.th.  
Shiddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjamaah, Tafakur: Bandung, 2005.  
Sulaiman ibnu Ahmad ibnu Ayyub Abu al-Qasim ath-Thabraniy, al-Mu’jam al-Ausath, Kairo: Dar al-Haramain, 1415 H.     
Syaikh al-islam ar-Raziy, al-Jarh wa at-Ta’dil, Beirut : Dar al-Fikr, 1905 H / 1958 M.
UA. Saefuddin, Fiqhud Da’wah KH.E. Abdurrahman, TB. Al-Huda, Bandung, 1996.
KH. Utsman Shalibuddin, Metodologi Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dewan Hisbah. Makalah disampaikan pada seminar hukum Islam pada Fakultas Syari’ah. Bandung. 1998.
Kamiluddin, uyun. 2006, “MENYOROT IJTIHAD PERSIS” Bandung : Kelompok Humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar