Rabu, 06 Juli 2011

Kedudukan Suami Istri dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ketika seorang manusia berpasangan, menikah dan memiliki seorang anak dan berkeluarga, tentulah sebagai seorag muslim kita mesti mempunyai sebuah tujuan yang pasti untuk apa kita melakukan hal tersebut.
Hukum yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang dipakai oleh manusia dalam berkeluarga mesti jelas dalam menjalani setiap hak dan kewajiban yang ditanggung oleh kedua pasangan. Dan tentunya hukum yang berasala dari wahyulah yang bisa dijadikan landasan dalam menghukum kedua pasangan dalam menjalani kehidupan seperjuangan.
Hal ini sangat penting bagi keluaga Muslimin dalam kehidupan sehari-harinya agar dapat hidup sesuai dengan yang disyari'atkan oleh Rasululloh saw. Dikarenakan demikian, maka penulis akan membahas tentang hak dan kewajiban suami istri dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang berlandaskan pondasi Al-Qur'an dan As-sunnah.
B.     Rumusan Masalah
Dengan melihat Latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Apa Kedudukan Suami Istri dalam Islam ?
2.      Apa Kewajiban Suami Istri dalam islam ?
3.      Apa Hak Suami Istri dalam Islam ?
4.      Apa akibat bagi keduanya yang tidak melaksanakan hak dan kewajibannya ?
C.     Tujuan Masalah
Dengan melihat rumusan masalah  di atas, maka penulis memiliki tujuan masalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui kedudukan Suami Istri dalam Islam ?
2.      Mengetahui Kewajiban Suami Istri dalam islam ?
3.      Mengetahui Hak Suami Istri dalam Islam ?
4.      Mengetahui akibat bagi keduanya yang tidak melaksanakan hak dan kewajibannya ?
D.    Kerangka Penelitian
Dalam penelitian yang penulis lakukan, penulis mengkaji beberapa dalil-dalil Qath'I yang dijadikan rujukan utama dalam pembahasan ini, setelah dikaji lebih dalam, maka penulis akan menyodorkan beberapa pendapat dari ulama-ulama terdahulu yang berperan aktif dalan penggunaan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Suami Istri dalam Islam.
Sudah menjadi sunatullah manusia hidup berpasang-pasangan sejak nabi adam, namun apa yang dilakukan oleh manusia itu, tentu mesti mempunyai maksud dan tujuan yang tepat dan pasti, untuk apa manusia itu berpasangan, hal yang mesti diperhatikan untuk pondasi yang dipikul oleh kedua pasangan adalah menjadikan hidup berpasangan ini untuk mendapatkan ridha dari Allah swt, yang tentunya sesuai dengan ayat Qur'an :
وَمِن كُلِّ شَىْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah."(Ad-Dzariyat:49)
Menurut Jumhur Mufassirin ialah bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah. Sesuatu yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam berkeluarga salah satunya adalah untuk mempunyai anak untuk dibesarkan dan menjadi kader muslimin yang akan dating, sebagaimana Firman Allah swt :
يَـٰۤأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۴ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَاڕ كَثِيرًا وَنِسَآءًۚ وَٱتَّقُوا۴ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱڊرْحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu".(QS. An-Nisa : 1)
Selain daripda ayat Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa seorang muslim itu diharuskan mempunyai anak, maka sunnah yang diamanahkan untuk setiap muslim dalam memilih pasangan yang subur, hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullo saw:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ قَالَ أَبِي وَقَدْ رَأَيْتُ خَلَفَ بْنَ خَلِيفَةَ وَقَدْ قَالَ لَهُ إِنْسَانٌ يَا أَبَا أَحْمَدَ حَدَّثَكَ مُحَارِبُ بْنُ دِثَارٍ قَالَ أَبِي فَلَمْ أَفْهَمْ كَلَامَهُ كَانَ قَدْ كَبِرَ فَتَرَكْتُهُ حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد)
Dari anas bin Malik, ia berkata : adalah Rasululloh saw memerintahkan untuk menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras, dan ia bersabda : "Berkawinlah dengan perempuan yang subur, penyayang karena sesunggunya aku dengan kamu akan melawan nabi-nabi lain di hari Qiyamat (tentang banyaknya umat)." (HR. Ahmad)
Jadi perlunya seorang muslim untuk memiki banyak anak adalah harapan dari nabi Muhammad saw, karena nabi Muhammad akan senang jika memiliki umat yang banyak tentunya juga memilki kwalitas taqwa yang bagus.
B.     Kewajiban Suami Istri dalam Islam.

QS An-Nisaa 34 :
ٱلرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۴ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَڈ تَبْغُوا۴ عَلَيْهِنَّ سَبِيڕۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289]  Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]  Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291]  Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]  Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
QS. Ath-Thaalaq 6 – 7 :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَڈ تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۴ عَلَيْهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَـٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۴ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّۖ وَأْتَمِرُوا۴ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥۤ أُخْرَىٰ
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَــٰهُ ٱللَّهُۚ ڈ يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِڑ مَآ ءَاتَــٰهَاۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
6.  Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
7.  Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
QS 2:233
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَـٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِۚ ڈ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِڑ وُسْعَهَاۚ ڈ تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَڈ مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَاڕ عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَڈ جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوۤا۴ أَوْلَـٰدَكُمْ فَڈ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِۗ وَٱتَّقُوا۴ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوۤا۴ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
233.  Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
1047. Dari Hakim bin Mu'awiya ia berkata : saya bertanya : ya Rasululloh ! apa kewajiban serang dari kami terhadap istrinya ? sabdanya : Engkau beri makan dia apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian apabila engkau berpakaian, dan jangan engkau pukul mukanya, dan jangan engkau jelekkan dia dan jangan engkau jauhi (seketiduran) melainkan di dalam rumah. HR. Ahmad dan Abu dawud dan Nasai.
مباحث الرضاع تعريفه[1]
الرضاع: بفتح الراء، وكسرها ــــ ويقال: رضاعة ــــ بفتح الراء، وكسرها ــــ أيضاً، معناه في اللغة أنه اسم لمص الثدي. سواء كان مص ثدي آدمية أو ثدي بهيمة نحو ذلك، فيقال لغة لمن مص ثدي بقرة أو شاة: إنه رضعها، فإذا حلب لبنها وشربه الصبي فلا يقال له: رضعه، ولا يشترط في المعنى اللغوي أن يكون الرضيع صغيراً.
أما معناه شرعاً، فهو وصول لبن آدمية إلى جوف طفل لم يزد سنه على حولين ــــ أربعة وعشرين شهراً ــــ فإن شرب صغير وصغيرة لبن بهيمة لا تحرم عليه، ولا فرق بين أن يصل اللبن إلى الجوف من طريق الفم بمص الثدي أو بصبه في حلقه أو إدخاله من أنفه، فمتى وصل اللبن إلى معدة الطفل أثناء مدة الحولين المذكورين بالشروط الآتية كان رضاعاً شرعياً يترتب عليه التحريم الآتي بيانه، أما إن كان كبيراً زائداً على الحولين ورضع فإن رضاعه لا يعتبر، وذلك لقوله تعالى: {وَٱلْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ وَعلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوۤاْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ آتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوۤاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ }(البقرة:233) فقد دلت الآية الكريمة على أن أكثر مدة الرضاع المعتبرة في نظر الشرع حولان، فلو رضع بعدها ولو بلحظة فلا يعتبر رضاعة ولا يترتب عليه وذلك لأن سهلة ذهبت إلى النبي وقالت له: «يا رسول الله إن سالماً مولى أبي حذيفة مضى في بيتنا وقد بلغ ما يبلغ الرجال وعلم ما يعلم الرجال، فقال: «أَرْضِعِيهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ»، فهذا صريح في أن رضاع الكبير يوجب التحريم، والجواب: أن ذلك كان قبل تحديد مدة الرضاع بالحولين، فنسخ العمل به أو هو خصوصية لسالم وسهلة، لما رآه النبي من الضرورة الملحة التي تستلزم الترخيص لأهل هذا البيت، حيث لا يمكن الاستغناء عن دخول سالم بحال، على أن هناك اشكالاً آخر، وهو أن الرضاع يستلزم كشف الثدي ومصه ولمسه وهو محرم. والجواب: أنه لا يستلزم لأن التحريم كما يكون بالمص يكون بالشرب، كما عرفت فيصح أن تكون قد حلبت له ثديها فشرب.
للزوج أن يجمع بين زوجاته في بيت واحد وفي فراش واحد[2]:
إن كان البيت ــــ عمارة ــــ تحتوي على عدة مساكن ــــ شقق، أو أدوار ــــ لكل شقة باب خاص بها ولها منافع تامة من دورة مياه ومطبخ ومنشر تنشر عليه الملابس المغسولة، فإن للزوج أن يجمع بين الضرائر في هذه العمارة بدون رضائهن، ولا تشترط المساواة في السكنى، بل الشرط أن يكون سكن كل واحدة مناسباً لحالها بحيث يرتفع الجور عنها، كما تقدم.
أما إن كان البيت له باب واحد ودورة مياه واحدة ومطبخ واحد ومنشر واحد وكان فيه عدة حجر لكل واحدة منهن حجرة خاصة بها فإنه يجوز بشرط رضائهن، وإلا كان ملزماً بإحضار سكن يليق بكل واحدة، فإذا كان به حجرة واحدة، ورضوا بالسكنى بها فإنه يجوز، ومثل ذلك ما إذا كان في سفر ومعه زوجات وجميعهن في خيمة واحدة أو على فراش واحد فإنه يجوز، ولكن يكره أن يطأ إحداهن أمام الأخرى وهي مستورة العورة، أما إن كانت مكشوفة فإنه يحرم، إذ لا يحل النظر إلى العورة، كما تقدم في الجزء الأول.
C.     Hak Suami Istri dalam Islam.
مبحث حق الزوجة الجديدة في القسم وتنازل المرأة عن حقها فيه[3]:
إذا تزوج جديدة، فإذا كانت بكراً كان لها الحق في المبيت عندها أسبوعاً نافلة لها بحيث لا يحتسب عليها. وإن كانت ثيباً كان لها الحق في المبيت عندها ثلاث ليال، فإذا انتهت مدة إقامته عند الجديدة عاد إلى القسم بين زوجاته على التفصيل المتقدم ولا فرق بين أن تكون الجديدة أمة تزوجها على حرة. أو حرة، لخبر ابن حبان في صحيحة «سَبْعٌ لِلبِكْرِ وَثلاثٌ للثَّيْبِ» وفي الصحيحين عن أنس: «أن السنة إذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ عَلَى الثَّيْبِ أقَامَ عِنْدَها سَبْعاً ثُمَّ قَسَمَ وَإذَا تَزَوَّجَ الثَّيْبَ عَلَى الْبَكْرِ أقَامَ عِنْدَهَا ثَلاثاً ثُمَّ قَسَمَ».
وللزوجة أن تتنازل لضرتها عن نصيبها في مقابل مال تأخذه منها. أو بدون مقابل، وإذا تنازلت لها ثم رجعت فإن رجوعها يصح وفي ذلك تفصيل في المذاهب.
مبحث هل لمن يريد السفر أن يختار من تسافر معه من زوجاته[4]؟
وإذا سافر المتزوج أكثر من مرة واحدة فلا يخلو إما أن يكون مسافراً سفر انتقال من بلدة إلى أخرى ليستوطن بها، أو مسافراً سفراً مؤقتاً لقضاء حاجة، فإن كان الأول فإنه لا يجوز له أن يترك بعضهن ويأخذ البعض الآخر، لما في ذلك من المضارة للباقيات فإذا كان لا يستطيع أن يعيش معهن جميعاً في البلدة المنقول إليها وجب عليه أن يسرح منهن البعض الذي لا يريده، وإلا وجب عليه أن يقرع بينهن ويأخذ معه من عليها القرعة على أن تمكث معه زمناً ثم يعيدها ويأخذ غيرها لتمكث معه مثل الزمن الذي قضاه مع ضرتها، وهكذا، أما ما اعتاده بعض الناس الذين يتزوجون أكثر من واحدة في بلاد الأرياف ثم ينزحون بواحدة منهن إلى مصر ويتركون الباقيات كالمعلقات بحجة أنه لا يمكن العيش بهن جميعاً في مصر فإنه لا يجوز إلا برضاء الباقيات، وينبغي أن يكون هذا مما لا خلاف فيه، لأن لكل زوجة الحق في القسم في مثل هذه الحالة، إذ لا يقال للزوج إنه مسافر وإنما يقال له: إنه أقام في جهة وهجر نساءه في جهة أخرى، مع أن لهن عليه حقوقاً يجبر عليها، أما إن كان السفر لغرض من الأغراض من تجارة، وغزو، وحج، واستشفاء، ونحو ذلك، فإن فيه تفصيل المذاهب.
كيفية القسم، وما يترتب عليه[5]
للزوج أن يقسم بينهن بحسب حاله، فإن كان ممن يعمل لقوته بالنهار قسم بالليل، وإن كان ممن يعمل بالليل كالحارس وغيره قسم بينهن بالنهار، ثم إن تراضوا على مدة معينة كأن يكون لهذه جمعة وللأخرى مثلها فذاك، وإن لم يتراضوا ففي ذلك تفصيل المذاهب.
مبحث لا تجب المساواة بين الزوجين في الحب القلبي وما يترتب عليه من شهوة[6]
كما لا تجب التسوية في النفقة كذلك لا تجب في الوطء والميل القلبي، لأن ذلك ليس في اختيار الإنسان، وإنما هو تابع لحالة طبيعية، فقد تنبعث شهوته إلى واحدة دون الأخرى، وقد يتعلق قلبه بواحدة من حيث لا يدري، وهذا هو معنى قوله تعالى: {وَلَن تَسْتَطِيعُوۤاْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً } (النساء:129)، فالمراد نفي الاستطاعة التي ليست في اختيار الإنسان من المحبة القلبية وما يترتب عليها من استمتاع. أما ما عدا ذلك من إقامة العدل في المبيت وإعطاء كل واحدة نفقة مثلها بدون جور فإنه مستطاع من كل أحد، فلذا كان صلى الله عليه وسلم يتحرى الدقة في العدل بين نسائه في هذا ويقول: «اللَّهُمَّ إنَّ هٰذا قَسَمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلا تَلُمْنِي فِيمَا لا أَمْلِكْ» وليكن ليس معنى هذا أن الرجل يترك إحدى زوجاته بدون وطء فيعرضها للخنا والفساد، فإنه إن فعل ذلك فقد ارتكب إثماً، بل يجب على الزوج أن يعف زوجته ويصرفها عن التعلق بغيره، وإن لم يستطع وجب عليه أن يسرحها، وهل للزوجة الحق في طلب اعفافها؟ وإذا طالبته فهل يقدر لها القاضي قدراً معيناً؟ وكذلك هل لها أن تشكو كثرة استعمالها إذا تضررت منه؟ وهل يقدر القاضي له قدراً معيناً أو لا؟ في ذلك تفصيل المذاهب.


D.    Ancaman Bagi Keduanya yang tidak Melakukan Kewajiban.

1042. Dari Abi hurairoh ia berkata telah bersabda Rasululloh saw : Dila'nat orang yang campuri istri dari duburnya. HR. Abu Daud dan Nasai.
1046. Dari Abi Sai'd Al-Khudri, ia berkata telah bersabda Rasululloh saw: Bahwasannya sejelek-jelek derajat manusia di hadapan Allah pada hari Qiyamat ialah seorang yang bersendirian dengan perempuan dan is bersendirian, kemudian ia buka rahasianya. HR, Muslim.



[1] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584
[2] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584
[3] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584
[4] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584
[5] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584
[6] الفقه على المذاهب الأربعة, دار الفكر, 5, 2584

Tidak ada komentar:

Posting Komentar